top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Tuberkulosis yang Tak Kasat Mata: Silent Killer di Suku Baduy

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com

Penulis: Jihan Fadilah Faiz


Suku Baduy merupakan salah satu masyarakat sederhana di Indonesia yang sekarang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Secara umum mereka masih mempertahankan adat tradisionalnya dengan ketat dan kuat. Pedoman hidup dalam perilaku mempertahankan adat mereka disebut pikukuh. Pikukuh dianggap bernilai religius dan berlandaskan kepada agama asli Baduy, yang disebut Sunda Wiwitan. Ketaatan dalam menjalankan pikukuh serta ketaatan pada agama dan adat leluhur warisan nenek moyang terasa jelas dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari Suku Baduy  (Permana, 2006).


Konsep sakit yang diyakini oleh masyarakat Baduy sangat berbeda dengan masyarakat modern. Mereka dikatakan sakit apabila paraji (dukun) atau kokolot lembur (tetua kampung) yang menyatakan “sakit”. Istilah sakit disebut nyeri, istilah penyakit disebut panyakit, istilah orang yang sedang sakit disebut gering dan orang yang menderita atau mengidap penyakit dinamanya panyakitan. Ketika warga baduy mengalami gejala penyakit tertentu, seperti flu, batu-batuk, gatal-gatal, meriang, sakit kepala dan lainnya, namun masih bisa beraktivitas, maka tidak dikatakan sakit. Artinya, konsep sakit di masyarakat Baduy adalah seseorang yang tidak bisa beraktivitas dan tidak bisa sembuh sendiri. Ketika paraji mengatakan “tidak bisa sembuh sendiri” maka warga akan berusaha mencari dan memanfaatkan sumber daya alam sekitar seperti tanaman tradisional (Permana, 2009).


Masyarakat Baduy sangat menjaga adat istiadat dan kepercayaan yang diturunkan oleh leluhurnya. Mereka bertugas menyejahterakan dunia dengan cara memelihara alam dengan baik yang diyakini akan membuat kehidupan menjadi aman dan sejahtera. Konsep terpenting adat Suku Baduy adalah “tanpa perubahan apa pun” yang sesuai dengan bahasa Sunda Suku Baduy

lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung yang artinya panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung (Garna, 1993).

Dalam kaitannya dengan kesehatan, bila seseorang warga Baduy mengalami sakit, mereka dihadapkan pada dilema antara menggunakan pengobatan ”modern” yang aksesnya semakin mudah (berarti melanggar adat) dan pengobatan tradisional yang pengetahuannya semakin sirna (berarti kesulitan dalam pengobatan). Hal tersebut kerap kali dihadapi Suku Baduy, terutama Baduy Dalam karena apabila hal tersebut dilanggar yang disebut juga dengan tabu ,maka akan ada konsekuensinya uang salah satu terberat adalah keluar dari Suku Baduy Dalam (Permana, 2009).


Sebagai contoh kasus pada awal bulan September 2022 lalu, ditemukan 9 warga Baduy meninggal dengan diagnosis Campak dan Tuberkulosis (TBC). Awalnya ada enam orang Suku Baduy meninggal dengan dugaan TBC, namun setelah dilakukan pemeriksaan darah diketahui sebanyak sembilan warga yang meninggal dengan tujuh diantaranya terinfeksi Campak dan dua diantaranya putus berobat dari pengobatan TBC. Setelah ditelusuri lebih lanjut pada 22 September 2022 dilaporkan terdapat 18 warga Baduy yang terdiagnosis sakit TBC. Hingga kemudian, dua diantaranya dirujuk ke RSUD Banten untuk menjalani pengobatan TBC (Stop TB Partnership Indonesia, 2022). 


Bohani, salah satu pasien berusia tujuh tahun contohnya, sempat menjalani pengobatan TBC selama 2 bulan yang hasilnya berat badan bertambah dari 8 kg menjadi 12 kg. Namun demikian, Ia tak melanjutkan pengobatan dikarenakan jarak Puskesmas yang cukup jauh dari rumah. 


Kondisi Bohani semakin memburuk, selain TBC Ia juga mengalami gizi buruk. Sebelumnya, Muhammad Arif Kirdiat selaku Ketua Koordinator Sahabat Relawan Indonesia (SRI) menginformasikan bahwa Tim Medis SRI sempat melakukan kunjungan pada tanggal 19 September, saat itu kondisi Bohani cukup baik, bahkan Ia masih bisa berlari-lari dan bermain dengan temannya. Namun, pada 21 September lalu dilaporkan kondisi Bohani memburuk. Akhirnya Tim Medis SRI membawa Bohani ke RSUD Banten untuk melakukan pengobatan.


Jarak tempuh dari rumah Bohani ke RSUD Banten cukup jauh, yaitu 80 KM. Sebenarnya terdapat RSUD Adjidarmo yang lebih dekat, namun karena Bohani tidak ada Kartu Indonesia Sehat (KIS) sehingga Ia tidak bisa berobat di RSUD tersebut. Pada akhirnya, Bohani mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang bisa menggantikan KIS untuk mendapatkan pengobatan gratis di RSUD Banten. 


Permasalahan Tuberkulosis (TBC) di Suku Baduy tersebut hanyalah kasus gunung es yang tampak sedikit diluar namun diduga banyak di dalam. Warga Baduy yang menjalani pengobatan tersebut didominasi oleh Warga Baduy Luar, sementara Baduy Dalam yang terinformasikan hanya 2 orang yang meninggal dunia karena TBC (Permana, 2009). 


Adanya Gap Antara Kepercayaan dan Modernisasi

Menanggapi permasalahan yang sedang dialami warga Baduy tersebut dapat dilihat bahwa masalah yang terlihat adalah adanya gap antara modernisasi dengan kepercayaan dan adat istiadat Suku Baduy. Melihat dari sisi karakteristik perilaku mereka sangat mematuhi aturan adat yang diyakini sangat berkaitan erat dengan kehidupan mereka. Mereka tinggal di daerah yang sangat jauh dari tempat pelayanan kesehatan sehingga sangat sulit dijangkau oleh tenaga medis. Bahkan, Suku Baduy Dalam tidak memperbolehkan bangunan permanen modern berada di kawasan mereka (BBC Indonesia, 2022)


Selain itu, rumah Suku Baduy Dalam tergolong tidak sehat karena tidak ada jendela, dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang pori-porinya minim tembus cahaya dan udara sehingga tidak ada sirkulasi udara maupun cahaya matahari yang masuk serta dinding yang lembab karena adanya potensi hujan yang menyebabkan anyaman bambu tersebut menyerap air. Terkait tidak adanya jendela diyakini bahwa jika ingin melihat keluar maka bisa langsung keluar rumah saja tanpa harus melihat dari jendela. Hal tersebut adalah aturan adat yang diyakini Suku Baduy (Puteri, 2024).   


Suku Baduy juga sangat pantang untuk menggunakan transportasi modern. Mereka hanya boleh berjalan kaki jika ingin bepergian sejauh apapun, sehingga untuk mengakses layanan kesehatan sangat tidak mudah dijangkau. Terutama untuk pengobatan TBC yang harus kontrol serta rutin minum obat yang harus diambil setiap bulan. 


Untuk menyikapi hal jarak yang sangat jauh dan larangan mendirikan bangunan permanen modern, potensi intervensi yang bisa dibangun adalah dengan menyediakan fasilitas kesehatan di perbatasan wilayah Suku Baduy. Pada dasarnya telah ada Puskesmas Pembantu, namun tidak ada tenaga kesehatan yang bertugas bahkan bangunan tersebut tidak terawat (BBC, 2022) Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya menyediakan tenaga medis yang cukup dan memadai. Nakes yang bertugas juga harus dibekali ilmu dan keterampilan dalam memfasilitasi warga Baduy agar sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Tentu nakes tersebut juga harus diberi kompensasi yang memadai agar mereka mau menjalankan tugasnya di daerah perbatasan tersebut. 


Tetua Adat dan Paraji yang Sangat Dihormati

Berdasarkan penjelasan diatas sebelumnya bahwa seseorang dikatakan sakit jika paraji dan kokolot lembur atau tetua kampung menyatakan “sakit” sehingga tidak bisa sembuh sendiri. Potensi tokoh adat menjadi pegangan kunci yang baik untuk mengkolaborasikan antara pengobatan TBC dengan kepercayaan. 


Menurut Setyanto dkk (2019) Suku Baduy sangat menghormati warisan leluhur, namun hal tersebut dapat sedikit sekali berubah jika dalam kondisi tertentu. Contohnya kasus anak bernama Atikah merupakan cucu ketua adat Suku Baduy Dalam yang menjalani operasi pada kakinya karena sudah 2 tahun tidak bisa berjalan akibat jatuh. Tenaga kesehatan yang merawat mengatakan bahwa perlu waktu 1 bulan untuk meyakinkan tetua adat Suku Baduy untuk mau membawakan cucunya tersebut menjalani operasi. Walaupun pada akhirnya tetap untuk menuju klinik tempat praktik operasi dilakukan harus berjalan kaki yang ditempuh selama 1 hari 1 malam (BBC Indonesia, 2022).


Memang butuh waktu yang sangat panjang untuk bisa menerapkan pengobatan bagi Suku Baduy, namun bukan berarti tidak bisa. Warga Baduy Dalam yang meninggal karena TBC bukan akibat dari kurangnya obat, namun karena tidak minum obat dengan patuh dan adanya larangan menggunakan obat modern. 


Langkah yang paling bisa dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan pada tetua adat Suku Baduy untuk memberikan pemahaman yang baik, namun tentu menyesuaikan kepercayaan yang dianut. Tenaga kesehatan harus terampil dalam mengedukasi tetua adat serta bersabar dan menghormati mereka agar bisa menyelamatkan jiwa yang terinfeksi TBC.  


Pada akhirnya, semua peluang perlu digunakan dengan baik oleh pihak manapun. Langkah awal yang potensial adalah dengan memberikan pemahaman kepada Tetua Adat Baduy terlebih dahulu terkait penyakit TBC. Dengan pemahaman yang baik akan membuat masyarakat tahu bagaimana mencegah penularan serta apa yang harus mereka lakukan. 


Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan memastikan sistem kesehatan yang merata bagi masyarakat pedalaman. Serta memastikan adanya posko kesehatan atau pelayanan kesehatan darurat yang dekat dengan warga setempat dan ada ada tenaga medisnya, sehingga pengobatan bisa dilakukan dengan cepat tanpa harus menempuh jarak yang panjang.

 

Referensi



36 tampilan0 komentar

Comments


Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page