Tentang Cinta yang Menular Seperti TBC
- Stop TB Partnership ID

- 18 jam yang lalu
- 2 menit membaca

Hatiku selalu berbunga-bunga setiap kali sama Irfan.
Hari ini dia ngajak aku keliling Jakarta naik motor, bukan mobil, biar gak macet.
Cinta aja udah bikin sesak, apalagi macet Jakarta hehe
Oh iya, kenalin. Aku Ratna, 22 tahun, baru lulus kuliah.
Sedangkan Irfan 28, udah mapan kerja di kantor swasta.
Enam tahun beda umur, tapi cuma dia yang lebih dewasa, aku masih sering drama kayak remaja.
Kami hampir tiap hari ketemu.
Bahkan abis dia pulang kantor, masih sempet mampir buat ngajak aku makan sate taichan.
“Ayang, mau sate taichan gak?”
“Mau ayang, yang penting bukan sate mantan,” jawabku sok manja.
Kami ketawa bareng di tengah polusi ibu kota yang makin tebal.
Masalahnya cuma satu: Irfan perokok berat.
Setiap abis makan, pasti dia ngerokok.
Aku sih gak gangguin, paling cuma pura-pura batuk biar dia sadar.
Tapi kayaknya pura-pura batuk itu malah beneran jadi batuk.
Beberapa hari ini Irfan sering banget batuk kering.
Aku juga ikut-ikutan batuk, tapi kupikir karena polusi atau asap rokoknya.
Hari Sabtu, Irfan ngajak nonton bioskop.
Malamnya ke pantai Ancol, romantis banget, kalau aja gak diselingi suara batuk duet kami berdua.
“Kayaknya kita bikin band aja deh, namanya The Coughers,” kataku.
Irfan cuma senyum, “Lucu juga, tapi batuk aku bentar lagi sembuh kok.”
Tapi nyatanya makin parah.
Aku mulai khawatir.
Apalagi tiap hari Minggu, Irfan selalu “menghilang”, gak mau diganggu, bahkan dihubungi sekalipun
Aku sih percaya dia, tapi batuknya kayak gak kenal hari libur.
Sampai akhirnya aku nekat datang ke kosannya.
Niatnya cuma mau kirim makanan, tapi malah liat dia keluar rumah pakai masker dan ngobrol sama ibu-ibu yang ngasih obat merah.
Dari situ hatiku mulai gak tenang.
Aku samperin ibu itu, ternyata tetangganya.
Dia cuma bilang, “Irfan sakit, Nak. Tapi dia gak mau orang lain tau.”
Aku langsung lemes.
Besok malam aku tanya langsung.
“Irfan, kamu sakit apa sebenarnya?”
“Gak apa-apa, ayang. Cuma batuk biasa.”
“Batuk biasa gak sampai beli obat merah segala, Fan.”
Dia diam lama, terus bilang pelan:
“Kayaknya kita udahan aja ya. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa karena aku TBC.”
Dunia rasanya berhenti.
Aku bengong.
Putus? Karena TBC?
Bukan karena selingkuh, bukan karena beda prinsip… tapi karena kuman? :”)
Sejak malam itu kami gak pernah kontak lagi.
Aku pergi ke puskesmas, dan seminggu kemudian hasil tes keluar
Aku positif TBC.
Lucu ya, ternyata cinta kami benar-benar menular.
Aku gak nyalahin dia.
Aku cuma sedih karena dia gak jujur.
Kalau aja dari awal dia cerita, aku pasti bakal jagain dia, pakai masker bareng, minum obat bareng, batuk bareng tapi tetap sayang.
Enam bulan kemudian aku sembuh.
Aku kirim pesan:
“Irfan, makasih ya. Enam bulan terakhir aku juga positif TBC, tapi sekarang udah sembuh. Awalnya aku sakit hati karena kamu bohong, tapi sekarang aku ngerti. Aku udah maafin kamu, juga maafkan diriku sendiri.”
Pesan itu gak pernah dibalas.
Mungkin dia udah ganti nomor, atau ganti hati.
Tapi satu hal yang aku pelajari:
Cinta gak selalu manis, kadang pahit kayak obat TBC.
Tapi kalau diminum sampai habis, bisa nyembuhin luka juga kok hehe…
















Komentar