top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

TBC dibahas di Sidang PBB, Apa yang Perlu Kita Ketahui?


(Foto milik STPI. Sidang PBB TBC, 21 September 2023)
(Foto milik STPI. Sidang PBB TBC, 21 September 2023)

Sobat STPI pasti senang kan Tuberkulosis (TBC) dibahas di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations High Level Meeting (UNHLM) pada 22 September 2023 lalu? Untuk kedua kalinya TBC dibahas pada pekan United Nations General Assembly (UNGA) melalui pertemuan High Level Meeting (HLM) yang dihadiri oleh 127 perwakilan negara (lihat daftar e-Delegate). Topik dari UN HLM TB kedua ini adalah “Advancing science, finance and innovation, and their benefits, to urgently end the global tuberculosis epidemic, in particular by ensuring equitable access to prevention, testing, treatment and care.” Acara ini terdiri dari 3 bagian yaitu sesi plenary dimana Kepala Negara/perwakilan menyampaikan pernyataan, dan, 2 diskusi multi-stakeholders di pagi dan di siang hari. Menteri Kesehatan RI, Budi G. Sadikin, menjadi salah satu co-chair di Diskusi Panel 1 di pertemuan HLM TBC.


Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen Deklarasi Politik TBC yang baru. Berikut beberapa poin latar belakang komitmen dalam point deklarasi politik TBC yang kedua ininya:

  1. Memperbarui dan menegaskan kembali komitmen kolektif kita terhadap Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) 2030, termasuk tekad untuk mengakhiri epidemi tuberkulosis pada tahun 2030;

  2. Menyadari bahwa tuberkulosis mempengaruhi masyarakat secara tidak adil dan berkontribusi terhadap siklus kesehatan yang buruk dan timbulnya kemiskinan, menyadari bahwa malnutrisi dan kondisi kehidupan yang tidak memadai berkontribusi terhadap penyebaran tuberkulosis dan dampaknya terhadap masyarakat;

  3. Menyadari bahwa kesenjangan struktural, stigma, rasisme dan diskriminasi, termasuk terhadap perempuan, investasi yang tidak memadai, dan akses yang tidak adil terhadap pencegahan, diagnosis, pengobatan tuberkulosis masih menjadi hambatan utama dalam mengakhiri epidemi tuberkulosis, sehingga orang dengan tuberkulosis mungkin mengalami stigma dan segala bentuk pelecehan, diskriminasi dan bahwa hambatan terhadap penikmatan hak asasi manusia perlu diatasi melalui tindakan politik, hukum, dan program yang komprehensif;

  4. Memperhatikan hubungan multifaktor antara tuberkulosis, kondisi kesehatan mental, faktor penentu sosial dan ekonomi, termasuk stigma dan diskriminasi yang dapat menyebabkan morbiditas lebih besar dan hasil pengobatan yang lebih buruk, sehingga prevalensi depresi mencapai 45 persen di antara Orang dengan Tuberkulosis dan hal ini perlu diatasi melalui program terpadu;

  5. Menegaskan kembali pentingnya kolaborasi dan kerja sama di tingkat global dan regional khususnya di sektor kesehatan, keuangan, perdagangan dan pembangunan guna meningkatkan tindakan kolektif untuk mengakhiri tuberkulosis.


Berdasarkan ulasan dari UN Foundation (baca di sini), teks deklarasi TBC mempunyai target yang berbasis bukti dan ambisius untuk dicapai oleh negara-negara dibandingkan deklarasi PPPR dan UHC. Masyarakat sipil dan advokat mengapresiasi bahwa negara-negara berjanji untuk mencapai target yang ambisius agar orang-orang terdampak TBC mempunyai akses universal yang tepat waktu dan berkualitas. Negara anggota berjanji bahwa pada tahun 2027:

  1. Setidaknya 90 persen dari perkiraan jumlah orang yang mengidap tuberkulosis telah mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang terjamin kualitasnya, dan semua orang yang didiagnosis telah menjalani tes awal dengan tes molekuler cepat yang direkomendasikan WHO, dan didukung untuk menyelesaikan pengobatan, artinya menyediakan pengobatan yang menyelamatkan jiwa bagi sekitar 45 juta orang di antara tahun 2023 dan 2027, termasuk hingga 4,5 juta anak-anak dan 1,5 juta orang dengan tuberkulosis yang resisten terhadap obat;

  2. Paling sedikit 90 persen orang yang berisiko tinggi terkena TBC diberikan pengobatan pencegahan, yang berarti memberikan pengobatan pencegahan TBC kepada sekitar 45 juta orang, termasuk sekitar 30 juta kontak rumah tangga dengan pasien TBC, termasuk anak-anak dan sekitar 15 juta orang yang hidup dengan HIV, dengan visi untuk menjangkau lebih banyak orang, termasuk mereka yang tinggal di wilayah geografis terpencil atau di wilayah yang sulit diakses, dengan mempertimbangkan panduan WHO; dan,

  3. 100 persen orang dengan tuberkulosis memiliki akses terhadap paket tunjangan kesehatan dan sosial sehingga mereka tidak harus menanggung kesulitan finansial karena penyakit TBC;


Versi Draft Final Deklarasi Politik TBC dapat diakses di link berikut, versi formal adopsi belum tersedia.


Selama pekan UNGA, acara tidak terbatas pada 3 pertemuan di atas saja, karena ada berbagai rangkaian acara yang diselenggarakan oleh komunitas maupun organisasi nirlaba yang mengambil topik-topik tertentu. Stop TB Partnership Indonesia (STPI) mengikuti beberapa acara lainnya secara langsung. Pada tanggal 19 September 2023 terdapat acara terkait New TB Tools (tonton di sini) dengan pembicara dari FIND, TB Alliance dan IAVI dimana Dirjen P2P dan Menteri Kesehatan RI turut berpartisipasi menjadi pembicara. Selain itu STPI juga mengikuti acara TB Innovation Summit 3.0 yang diselenggarakan oleh Stop TB Partnership (tonton di sini) dimana Nurul Luntungan, Ketua Yayasan STPI, menjadi moderator di Panel. 2 “Achieving Impact: Accelerating the Scale-Up of Current TB Innovations”, bersama Head Global Policy Viatris, President dari Molecular Diagnostics Abbott, Vice President dan General Manager Diagnostics BD dan Naomi Wanjiru, seorang perawat dan penyintas TBC dari Kenya.Pada hari berikutnya, 20 September 2023 STPI menghadiri 2023TBHLM Community Pre-Briefing & Panel. Kemudian, pada malam hari 20 September, STPI menghadiri acara Kochon Prize dan Challenge Facility for Civil Society Awards/CFCS yang diselenggarakan Stop TB Partnership dan Kochon Foundation . Untuk tahun 2021, Kochon Prize diterima oleh Dopasi Foundation dan, di tahun 2022, diterima oleh sekelompok pejuang kesehatan dari Ukraina (pengelola program TBC di kementerian kesehatan, dokter, komunitas, dsb.). Sedangkan, untuk penerima CFCS Round 12 dari Indonesia yang diumumkan oleh Stop TB Partnership adalah STPI, Yayasan KNCV Indonesia, POP TB Indonesia, Bekantan, dan REKAT.




Di sela-sela Pertemuan Tingkat Tinggi Tuberkulosis (High Level Meeting/HLM TB) Majelis Umum PBB (UN GA) ke-78, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Polandia bekerja sama dengan Stop TB Partnership dan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) menyelenggarakan sebuah side event yang bertajuk, “Investing Right, Investing Now to End Tuberculosis”. Acara ini diadakan satu hari sebelum pertemuan HLM TB PBB dan berhasil membangun antusiasme mengenai bagaimana pemangku kepentingan global dan nasional dapat berkolaborasi dalam mewujudkan eliminasi Tuberkulosis (TBC) pada tahun 2030. Acara ini bisa ditonton ulang di link ini.



Terdapat beberapa narasumber dari berbagai negara menjadi pembahas pada acara tersebut, seperti Bapak Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan RI, Ibu Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri RI, Lucica Ditiu selaku Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Global, Norbert Ndjeka selaku Kepala Direktur Manajemen dan Kontrol TBC Afrika Selatan, Katarzyna Drazek-Laskowska selaku Direktur Biro Kerjasama Internasional Polandia, Timur Abdullaev Dewan TB People yang juga penyintas TBC dari Uzbekistan, Tereza Kasaeva selaku Direktur WHO Global Program TBC, Nina Russell selaku Direktur Pencegahan TB & HIV Gates Foundation, Shadiq Akasya selaku Direktur Biofarma, Bience Gawanas selaku Wakil Ketua Pengurus Global Fund, Pandu Harimurti selaku Senior Spesialis Kesehatan World Bank, Cheri Vincent selaku Ketua Divisi TBC USAID, Suvanand Sahu selaku Deputi Direktur Eksekutif Stop TB Partnership global dan Bapak Maxi Rein Rondonuwu selaku Direktur P2P Kemenkes RI.



Setelah deklarasi politik tersebut diadopsi oleh Negara, Indonesia perlu memastikan komitmen-komitmen tersebut diterjemahkan dan diproses secara bertahap ke perencanaan program dan kebijakan baik di tingkat nasional dan daerah. Selain itu, tentunya, beberapa komitmen perlu ditindaklanjuti oleh Indonesia di tingkat global misalnya untuk berpartisipasi aktif di Fair Pricing Forum WHO (paragraf 40), dan, memastikan komitmen dalam deklarasi ini juga tercermin dalam deklarasi kesehatan lainnya seperti HLM AMR (2024), HLM NCDs (2025), HLM HIV/AIDS (2025). Untuk informasi selanjutnya, kamu bisa pantau media sosial STPI dan pastikan memfollownya atau subscribe website STPI agar tidak tertinggal informasi penting seputar TBC baik di tingkat global hingga nasional. Kamu juga bisa baca proceeding Side Event UNHLM TB disini:


Stop TB Partnership Global berencana untuk menerjemahkan target dan komitmen global ke tingkat negara. “Deklarasi ini berisi target yang jelas untuk memerangi TBC. Komunitas TBC harus bangga atas kerja luar biasa yang telah mereka lakukan untuk mencapai target ini. Namun, kami tahu bahwa komitmen saja tidak cukup dan Deklarasi akan menjadi sia-sia jika tidak ada tindakan lebih lanjut. Pada tahun 2018 menjadi anggota negara-negara bagian berjanji untuk menyediakan $13 miliar per tahun untuk pendanaan TBC tahunan pada tahun 2022, namun mereka hanya memberikan kurang dari setengah jumlah tersebut – siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan untuk menepati janji ini? Inilah sebabnya kita memerlukan upaya dan alat akuntabilitas yang kuat untuk memastikan para pemimpin dan kita semua bertanggung jawab dalam menepati janji mereka. Hal ini dimulai dengan menerjemahkan target dan komitmen global ke tingkat nasional, yang saat ini sedang diupayakan oleh Stop TB Partnership, dan memastikan masyarakat sipil dan komunitas TBC memiliki sumber daya dan alat untuk memastikan para pemimpin menindaklanjuti komitmen mereka.”



54 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page