Sudahkah Pelayanan TBC Ramah Untuk Perempuan?

Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik bahwa menjelaskan penyelenggaraan pelayanan publik harus berasaskan persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Artinya, tidak boleh ada perbedaan perlakuan kepada seseorang secara ekonomi, jenis kelamin, budaya, pendidikan serta kondisi fisik/mental termasuk kondisi abilitas mereka. Setiap orang diharapkan mendapatkan perlakuan setara dan adil ketika mengakses pelayanan publik termasuk juga fasilitas kesehatan seperti pelayanan tuberkulosis (TBC). Tentunya, dalam memberikan perlakuan yang terstandar dan sama dapat menjadi persoalan bila tidak melihat kondisi khusus pada kelompok tertentu seperti pada gender perempuan.
Gender berperan sebagai salah satu determinan penyakit tuberkulosis dan isu kesehatan secara umum. Menurut WHO, gender adalah konstruksi sosial karakteristik perempuan, laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki yang mencakup norma, perilaku, dan peran yang diasosiasikan pada mereka dan relasi antar kelompok gender. Artinya, konsepsi gender beragam dari satu masyarakat ke lainnya dan berubah seiring dengan waktu. Gender mempengaruhi pengalaman dan akses seseorang atau kelompok masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Sistem kesehatan dapat membatasi atau memfasilitasi akses gender tertentu mendapatkan informasi, pelayanan dan dukungan, serta hasil dari pelayanan kesehatan yang seharusnya terjangkau, dapat diakses, dapat diterima oleh semua gender secara berkualitas, berkeadilan, dan menjunjung harga diri manusia.
Diperlukan perlakuan khusus untuk perempuan dalam pelayanan TBC, bukan untuk membedakan perlakuan atau mendiskriminasi kaum laki-laki, namun, untuk memastikan kebutuhan khusus kesehatan perempuan dapat terpenuhi sebagai wujud kesetaraan dan keadilan. Terdapat kondisi tertentu yang dialami perempuan terdampak TBC, misalnya perempuan yang sakit atau berkontak dengan pasien TBC sedang hamil, menggunakan kontrasepsi, menyusui dan perlu membawa anak ketika melakukan pemeriksaan TBC di fasilitas kesehatan. Perempuan memerlukan penanganan khusus dan kebutuhan kesehatannya perlu diperhatikan secara lebih sistematis sejak skrining hingga menuntaskan pengobatan.
Dalam konteks akses pelayanan TBC, diagnosis TBC pada perempuan di masa kehamilan lebih sulit dibandingkan pada kelompok perempuan yang tidak hamil dan laki-laki. Hal ini dikarenakan gejala kehamilan mirip dengan gejala TBC atau bahkan dengan berbagai penyakit menular dan penyakit tidak menular lainnya. Sebuah studi menemukan bahwa skrining gejala TBC aktif pada ibu hamil hanya memiliki sensitivitas 28 persen. Tantangan lain dalam mendiagnosis penyakit TBC pada ibu hamil disebabkan karena keterbatasan paparan x-ray untuk melakukan skrining TBC pada kelompok ini (Hoffman, Variava, Rakgokong et al., 2013 in Stop TB Partnership, 2021).
Ketika menjalani pengobatan, perempuan hamil juga mempunyai kebutuhan dan perhatian khusus. Beberapa obat seperti Streptomisin, Kanimasin, Amikasi, Ethionamide, dan Prothionamide pada tidak direkomendasikan dan/atau dapat diganti sesuai ketentuan dokter yang merawat. Sedangkan data keamanan pengobatan TBC resisten obat menggunakan Bedaquiline dan Delamanid pada ibu hamil masih terbatas. Ibu hamil juga perlu mewaspadai potensi penularan bakteri saat melahirkan baik dalam proses persalinan (TBC kongenital) maupun saat setelah kelahiran karena bayi terinfeksi dari ibu yang sedang sakit/pasien lain/kontak erat lainnya (TBC neonatal/perinatal). (Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/755/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis)
Banyak perempuan juga tidak mengetahui TBC adalah salah satu penyebab utama kematian pada perempuan usia produktif serta penyebab kematian obstetri umum selama masa kehamilan dan proses melahirkan. Menurut Mathad & Gupta (2012), tuberkulosis pada perempuan hamil meningkatkan resiko mortalitas hingga 40 persen dan TBC pada ibu hamil yang positif HIV dapat meningkatkan resiko kematian hingga 300 persen. Selain risiko mortalitas, perempuan yang menyusui juga khawatir tentang dampak konsumsi obat-obatan anti TBC (OAT). Pada ibu yang menyusui, OAT dapat terus dikonsumsi karena konsentrasi OAT yang disekresikan melalui ASI sangat rendah dan bukan merupakan pengobatan bagi bayi. Pemberian OAT pada ibu hamil yang sakit TBC adalah cara cepat dan tepat untuk mencegah penularan dari ibu kepada bayi. Ibu dapat menggunakan masker untuk pencegahan saat menyusui dan ASI tetap diberikan. (Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/755/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis)
Selain aspek yang langsung berkaitan dengan kondisi kesehatan perempuan, terdapat faktor-faktor sosial yang juga mempengaruhi pengalaman perempuan untuk menyadari TBC dan dalam mengakses layanan kesehatan. Dalam konteks Indeks Pembangunan Gender (IPG) di tahun 2021, Indonesia berada pada angka 76,26. Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup baik dibandingkan 2020 yaitu 75,57 (BPS, 2022). Berdasarkan hal ini, secara terukur masih terdapat gap antara perempuan dan laki-laki, meskipun terbilang kecil namun masih menjadi tantangan sendiri. Salah satu kesenjangan antara perempuan dan laki-laki adalah akses informasi. Berdasarkan Susenas 2022, akses internet untuk kepala rumah tangga perempuan hanya sebesar 36,47% dibandingkan laki-laki yang mencapai 61,33%. Data tersebut menunjukkan bahwa akses perempuan ke internet lebih minim sehingga perempuan lebih sulit mengakses informasi kesehatan mereka ketika mengalami TBC. Minimnya informasi tentang tubuh perempuan dan TBC serta akses ke internet dapat berimplikasi perempuan tidak mendapatkan informasi kesehatan yang baik bagi dirinya sendiri.
Perempuan juga mengalami kekerasan saat mengakses layanan kesehatan TBC. Dilansir dari Times of India, di tahun 2020 terdapat seorang pasien TBC perempuan diperkosa oleh tenaga kesehatan dimana ia dirawat, sementara, di Filipina terdapat seorang pasien perempuan yang mengalami pelecehan yang dilakukan oleh teknisi laboratorium ketika mengakses layanan X-Ray di tahun 2014. Sangat disayangkan jika kejadian tersebut terjadi, terlebih sebagai seorang perempuan yang sedang mengalami sakit TBC. Meskipun belum ada kasus kekerasan seksual di layanan kesehatan yang diketahui terjadi di Indonesia, risiko-risiko pelecehan dan kekerasan berbasis gender perlu menjadi perhatian penggiat, tenaga medis, serta pembuat kebijakan.
Mantan Menteri Kesehatan Nila Moeloek di tahun 2017 pernah menerangkan bahwa belum meratanya pelayanan kesehatan yang berbasis gender pada setiap layanan dikarenakan wilayah Indonesia yang cukup luas dan adanya beragam isu sosial. Kondisi geografis Indonesia dapat menjadi pertimbangan tenaga kesehatan dalam memilih tempatnya mengabdikan diri, terkhusus di daerah pedesaan sehingga sumber daya kesehatan di wilayah tersebut masih belum sama proporsinya antara perempuan dan laki-laki. Dalam menggapai angka setara dibutuhkan tidak hanya perencanaan, tetapi juga sumber daya manusia yang kompeten, tercukupinya anggaran serta peraturan kebijakan yang mumpuni. Sementara isu sosial dapat terjadi karena pengambilan keputusan oleh perempuan dalam rumah tangga belum didukung secara substansial sehingga mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah dan mengurus suaminya dibandingkan memprioritaskan kondisi kesehatannya, termasuk ketika perlu mengakses pelayanan TBC.
Meskipun artikel ini mengulas tentang pelayanan TBC, perlu diketahui bahwa pelecehan dan kekerasan juga dialami perempuan di ranah privat misalnya perempuan dengan TBC yang karena di beberapa tempat stigma dan diskriminasi perempuan yang sakit TBC lebih tinggi dibandingkan laki-laki, sebagai contoh diceraikan oleh suami dan dijauhkan dari keluarganya. Saat ini mungkin saja banyak kejadian yang tidak terdokumentasikan sehingga informasi tantangan dan hambatan dalam mengakses pelayanan TBC yang berbasis gender sangat minim. Jika Anda atau pasien TBC yang Anda kenal mengalami stigma dan diskriminasi akibat status kesehatan maupun faktor gender di layanan kesehatan ataupun tempat lainnya, silahkan adukan di laportbc.id yang dikelola oleh Perhimpunan Organisasi Pasien TBC untuk mendapatkan dukungan komunitas dan/atau mengakses ke layanan bantuan hukum.
Comments