TBC Bukanlah Vonis Akhir: Sahabat dalam Derita dan Tawa
- Stop TB Partnership ID
- 8 jam yang lalu
- 7 menit membaca

Penulis: Fidelis Roy Maleng
Langit sore itu kelabu, seolah ikut menyimpan kisah perjalanan panjang yang baru saja berakhir. Di ambang senja, Eju duduk di teras rumahnya, membiarkan angin membawa sisa-sisa kenangan yang pernah membebaninya. Tatapannya mengembara ke jalanan kampung, tempat yang dulu ia tinggalkan dengan penuh harapan, namun kembali dengan jejak perjuangan yang tak terbayangkan. Siapa sangka, ia yang pernah nyaris menyerah, kini bisa menghirup udara desanya lagi dengan dada yang lebih lapang? Tubuhnya memang tak lagi sekuat dulu, tetapi ada sinar baru dalam sorot matanya, sinar seseorang yang telah melewati badai dan menemukan daratan. Perjalanan panjang melawan Tuberkulosis mengajarkannya banyak hal, dan hari ini, ia kembali bukan sebagai orang yang kalah, melainkan sebagai seorang pejuang yang berhasil pulang.
***
Aku dan Eju dulu satu sekolah dari SD hingga SMA. Sejak kecil, kami sering bermain bersama, berbagi cerita, dan saling membantu dalam banyak hal. Aku masih ingat bagaimana kami sering berjalan kaki ke sekolah sambil bercanda, atau saat kami menghabiskan sore di lapangan sepak bola kampung, bermimpi tentang masa depan yang penuh kemungkinan. Persahabatan kami terjalin erat, bukan hanya karena kedekatan fisik, tetapi juga karena kami saling memahami satu sama lain.
Namun, setelah tamat, jalan kami berpisah. Aku memilih melanjutkan kuliah di dekat kampung, sementara Eju ingin merasakan atmosfer perkotaan. Ia memilih menempuh pendidikan tingginya dengan berkuliah di Universitas yang ada di kota, menjauh dari tanah kelahirannya di kampung kami. Awalnya, kami masih saling mengirim pesan, membagikan cerita tentang kehidupan baru kami masing-masing. Namun, seiring waktu, komunikasi kami semakin jarang. Kesibukan kuliah dan lingkungan baru membuat kami hanyut dalam rutinitas masing-masing. Suatu hari, nomor Eju sudah tak lagi aktif. Aku mencoba menghubunginya beberapa kali, tetapi tak ada jawaban. Belakangan aku tahu, ia mengganti nomor ponselnya, dan karena aku pun tak pernah memberitahunya nomor baruku, kami akhirnya kehilangan kontak sepenuhnya.
Hingga suatu hari, aku menerima pesan dari orang tuanya yang meminta bantuanku. Mereka bercerita tentang kondisi Eju yang sedang sakit, dan tanpa ragu, aku merasa harus melakukan sesuatu. Meskipun kami sudah lama tak berkomunikasi, kenangan tentang persahabatan kami di masa kecil dan remaja tetap hidup dalam benakku. Aku tahu, dalam situasi ini, sahabat harus hadir bukan hanya dalam tawa, tetapi juga dalam derita.
Eju tak sadar bahwa ia mengidap TBC. Awalnya, ia mengira hanya batuk biasa karena makanan atau minuman yang ia konsumsi, tetapi semakin lama, tubuhnya melemah. Nafsu makan berkurang, demam tak kunjung reda. Hingga suatu malam, saat batuknya semakin parah disertai bercak darah, ia mulai curiga. Dengan sisa uang tabungannya, ia pergi ke klinik kecil di dekat kampus. Hasilnya mengejutkan, Eju positif TBC.
Belakangan, ia menyadari bahwa kebiasaan hidupnya turut berkontribusi terhadap kesehatannya yang memburuk. Sebagai mahasiswa dengan jadwal padat, ia sering melewatkan waktu makan dan lebih memilih makanan cepat saji yang minim gizi. Ia juga kerap mengonsumsi makanan berminyak dan gorengan secara berlebihan, yang dapat memperburuk peradangan dalam tubuh. Selain itu, Eju memiliki kebiasaan merokok sesekali bersama teman-temannya, tanpa menyadari bahwa asap rokok dapat melemahkan paru-parunya dan meningkatkan risiko infeksi. Lingkungan tempat tinggalnya yang lembab dan kurang terkena sinar matahari juga menjadi faktor pendukung berkembangnya bakteri TBC. Semua ini menjadi pelajaran baginya bahwa selain pengobatan, perubahan gaya hidup juga penting.
TBC atau Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada tanggal 24 Maret tahun 1882, dr. Robert Koch mengumumkan temuannya, Mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab tuberkulosis. Berdasarkan laporan WHO tahun 2023, TBC masih menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia, dengan lebih dari 10 juta kasus baru setiap tahunnya. Kasus TBC di Indonesia pada tahun 2023 mencapai sekitar 1.060.000 kasus. Jumlah kematian yang tercatat akibat penyakit ini mencapai 134.000 jiwa. Diperkirakan terdapat 13 orang per jam yang meninggal akibat TBC. Penyakit ini menular melalui udara ketika pasien batuk, bersin, atau berbicara, sehingga stigma terhadap pasiennya sering kali membuat mereka dikucilkan dari lingkungan sosial.
Eju menangis, tak sanggup menerima kenyataan. Berhari-hari ia mengurung diri di kamar kos, menutup gorden jendelanya, dan hanya keluar saat benar-benar butuh makan. Ia takut bertemu teman-temannya, takut ditanya mengapa tubuhnya semakin kurus dan suaranya semakin serak. Dalam pikirannya, ia telah menerima vonis sosial, bahwa dirinya adalah sumber penyakit, sesuatu yang harus dijauhi. Padahal, TBC bisa disembuhkan dengan pengobatan rutin selama enam sampai sembilan bulan. Dalam beberapa kasus, pengobatan TBC juga bisa memakan waktu yang cukup lama, tetapi untuk mereka yang dengan gigih berjuang untuk sembuh lamanya waktu tidak menjadi persoalan.
Ketika akhirnya ia menghubungi orang tuanya, mereka langsung meminta ia pulang agar bisa dirawat dengan baik. Namun, Eju menolak. Ia malu, takut dikucilkan. "Aku tidak mau pulang. Nanti orang-orang mengira aku membawa penyakit ini ke desa!" katanya pada ibunya. Eju tidak salah, stigma tentang TBC di kampung kami memang masih sangat kuat. Banyak yang menganggap bahwa penyakit ini adalah aib atau hukuman akibat gaya hidup buruk.Ā
Orang tuanya tidak menyerah. Mereka lalu menghubungiku, memintaku untuk berbicara dengan Eju. Mereka tahu dengan pasti kalau kami memang akrab dari kecil dan barangkali mereka juga berpikir bahwa kami masih sedekat itu sampai sekarang. Awalnya, aku ragu-ragu, sudah lama kami tidak berbicara, dan aku takut Eju menolak bantuanku. Namun, hati kecilku berkata bahwa ini bukan soal kenyamanan pribadiku.Ā Aku putuskan untuk meminta nomor barunya dari orangtuanya dan menghubunginya lewat WhatsApp. Awalnya, ia tak membalas. Aku mencoba lagi, kali ini dengan pesan yang lebih dalam: "Aku tahu semuanya. Aku ingin membantumu. Kamu tidak sendiri."Ā
Singkat cerita, pelan tapi pasti, Eju mulai terbuka. Ia setuju untuk pulang, tapi dengan satu syarat: ia ingin menunggu liburan semester ganjil agar tidak terlalu mencolok. Pada bulan Desember, ia tiba di kampung satu minggu sebelum aku berlibur. Di rumah, aku menghabiskan waktu luangku dengan membaca banyak literatur tentang apa itu TBC, bagaimana pengobatan TBC, baik medis maupun tradisional, dan juga bagaimana berkomunikasi dengan mereka yang sakit TBC. Aku ingin memastikan bahwa Eju mendapatkan dukungan yang ia butuhkan, bukan hanya secara fisik tetapi juga psikologis.
Selain itu, aku merasa penting untuk mengadakan katekese di kampung tentang TBC. KatekeseĀ adalah proses pembelajaran dan pendalaman iman dalam tradisi Kristen, yang biasanya dilakukan dalam bentuk pertemuan kelompok untuk membahas ajaran-ajaran agama serta bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, aku ingin menggunakan katekese sebagai sarana untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang TBC, baik dari segi medis maupun nilai-nilai kemanusiaan dalam menghadapi penyakit ini.
Aku membuka Alkitab dan tertarik dengan Injil Matius 8:1-4. Aku menggunakan kisah Yesus yang menyembuhkan orang kusta sebagai dasar: di hadapan penderitaan, kita harus hadir sebagai penyembuh, bukan penghukum. Penyakit kusta pada zaman itu membawa stigma sosial yang berat, mirip dengan bagaimana pasien TBC sering dikucilkan saat ini. Dengan mengangkat kisah ini, aku berharap masyarakat bisa memahami bahwa penderita TBC bukanlah orang yang harus dijauhi, melainkan didukung dalam proses penyembuhan mereka.
Katekese malam itu dihadiri banyak orang, dari berbagai latar belakang, yang ingin memahami lebih dalam tentang penyakit ini dan bagaimana bersikap terhadap pasiennya. Aku berharap, melalui diskusi dan refleksi bersama, stigma terhadap pasien TBC bisa berkurang dan berangsur hilang.
Eju menangis setelah mendengar kata-kataku. Ia berterima kasih, tetapi aku katakan bahwa perjalanan masih panjang. Bersama, kami mulai menerapkan pola hidup sehat: olahraga ringan, konsumsi makanan bergizi, serta istirahat yang cukup. Namun, yang paling penting adalah ketekunan dalam minum obat. Berdasarkan data WHO, setiap tahun ada sekitar 10 juta orang yang terkena TBC, dan salah satu penyebab utama kegagalan pengobatan adalah pasien yang berhenti minum obat sebelum waktunya. Banyak pasien TBC yang menyerah di tengah jalan karena efek samping obat atau stigma dari lingkungan sekitar. Inilah yang ingin aku cegah agar tidak terjadi pada Eju.
Eju menjalani pengobatan sesuai dengan standar medis, mengonsumsi kombinasi obat lini pertama seperti rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol, yang diresepkan dokter untuk dikonsumsi secara rutin selama enam bulan atau lebih. Selain itu, untuk mengurangi efek samping dan mempercepat pemulihan, ia juga mencoba beberapa ramuan tradisional yang sering digunakan dalam pengobatan alami TBC, seperti rebusan daun sirih untuk membantu meredakan batuk, madu dan kunyit untuk meningkatkan daya tahan tubuh, serta jahe dan bawang putih yang dipercaya memiliki sifat antibakteri. Meskipun obat-obatan tradisional ini tidak menggantikan terapi medis, mereka membantu Eju merasa lebih kuat secara fisik dan mental dalam menghadapi perjalanan panjang penyembuhan.
Di Indonesia, pemerintah menyediakan pengobatan TBC secara gratis melalui program DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course). Program ini memastikan pasien mendapatkan obat secara teratur di bawah pengawasan tenaga medis atau pendamping. Namun, banyak pasien yang tetap kesulitan menyelesaikan pengobatan akibat kurangnya pemahaman, efek samping obat seperti mual dan lemas, serta tekanan sosial dari lingkungan sekitar.
Setelah liburan usai, aku kembali ke kampus. Eju memutuskan cuti kuliah selama dua semester untuk fokus pada pengobatan. Kami tetap berkomunikasi; aku mengirimkan motivasi lewat pesan dan video renungan. Aku ingin ia tahu bahwa bertahan di atas sakit yang dirasa adalah pilihan yang layak diperjuangkan. Penderitaan bukanlah akhir, selama kita memberi ruang bagi orang lain untuk membantu.
Saat liburan berikutnya tiba, aku kembali ke kampung. Keesokan harinya, aku langsung menuju rumah Eju. Yang menyambutku hanya adiknya, Rosa, yang masih SD. Ia mengatakan bahwa Eju dan orang tuanya sedang menonton pertandingan voli dalam rangka ulang tahun desa. Aku bergegas ke lapangan desa, dan di sana, di tengah sorak-sorai penonton, aku melihat Eju. Bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pemain.
Aku terkejut sekaligus bangga. Eju yang dulu lemah dan penuh ketakutan, kini berdiri tegak, bermain dengan semangat. Ia berlari ke sana kemari, melompat dan memukul bola penuh energi, tubuhnya jauh lebih bugar dibanding terakhir kali aku melihatnya. Setelah pertandingan, ia melihatku dan langsung berlari memelukku.
"Aku kembali sehat,"Ā katanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku tersenyum. Aku tahu betapa berat perjalanannya, tetapi ia telah melewatinya dengan keberanian. Lebih dari sekadar pulih secara fisik, ia juga kembali menemukan harapan. Dengan penuh semangat, ia bercerita bahwa setelah cuti selama dua semester untuk fokus pada pengobatan, ia akan segera kembali melanjutkan kuliahnya. "Aku tidak ingin menyerah lagi,"Ā katanya, suaranya penuh tekad.
Namun, ada satu hal yang kini berbeda: Eju tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia berjanji untuk menjaga kesehatannya lebih baik kali ini. Pola makan yang bergizi, tidur yang cukup, dan menjauhi kebiasaan buruk yang dulu membuat tubuhnya lemah kini menjadi prioritasnya. "Aku belajar dari pengalaman,"Ā katanya sambil tersenyum. "Aku akan kembali ke kampus, tapi dengan cara yang berbeda, lebih sehat, lebih kuat."Ā Aku melihat di matanya bukan lagi ketakutan atau keraguan, melainkan keyakinan bahwa hidupnya masih panjang dan penuh kemungkinan.
TBC bukanlah vonis akhir, dan Eju adalah buktinya. Dengan perawatan yang tepat, dukungan keluarga, teman serta keberanian untuk melawan stigma, siapa pun bisa sembuh. Saat aku melihat Eju tersenyum lebar di tengah riuhnya perayaan desa, aku berbisik dalam hati, "Terima kasih sudah bertahan, Eju."
Comments