top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Obrolan Malam Minggu bersama Komisi IX DPR RI: Problematika Aktual Penanggulangan TBC



Sabtu, 11 September 2021 - Perhimpunan Organisasi Pasien TB (POP TB) Indonesia, Stop TB Partnership Indonesia (STPI), dan Global TB Caucus (GTBC) berinisiatif untuk memfasilitasi diskusi informal daring dengan drg. Putih Sari, anggota Komisi IX, DPR RI. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan program Challenge Facility for Civil Society (CFCS) untuk mencapai eliminasi TBC tahun 2030 melalui pemberdayaan dan partisipasi komunitas terdampak TBC secara bermakna.


Diskusi informal yang dilakukan dengan drg. Putih Sari, secara keseluruhan, dihadiri oleh 26 peserta yang berasal dari POP TB, STPI, GTBC, dan jejaring organisasi penyintas daerah. Jejaring organisasi penyintas daerah tersebut antara lain: SETARA, Yayasan Terjang, Kareba Baji, Perkumpulan REKAT Surabaya, Perkumpulan Semar, DAENG TB, PETA TB RO DKI Jakarta, Sebaya Hati Batam, PESAT Sumatera Utara, PETIR, dan TERBESAR DIY.


Dalam diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 120 menit tersebut, terdapat empat pokok pembahasan utama yang didiskusikan. Pokok-pokok pembahasan tersebut meliputi: 1) pendanaan upaya penanggulangan TBC di Indonesia; 2) menurunnya jumlah notifikasi kasus TBC selama pandemi COVID-19; 3) menurunnya jumlah temuan kasus dan orang dengan TBC Resisten Obat yang memulai pengobatan; dan 4) hambatan-hambatan pelayanan TBC yang ditemui organisasi-organisasi penyintas di daerah.


Dari segi pendanaan, masih terdapat funding gap sebesar 74% (26% didanai oleh APBN, APBD, dan donor internasional) dari total kebutuhan pembiayaan untuk mengatasi TBC di Indonesia untuk tahun 2021-2024. Pendanaan merupakan komponen penting dalam perwujudan komitmen penanggulangan TBC, mengingat kerugian ekonomi per individu yang meninggal akibat TBC rata-rata mencapai Rp 18 Miliar (USD 1.307.651). Jika Indonesia berhasil mencapai eliminasi TBC pada 2030, maka kerugian ekonomi yang bisa dihindari adalah sebesar Rp 185 T (US$1.31 trillion), atau penghematan biaya dengan mencegah satu orang meninggal akibat TBC sensitif obat adalah antara US$700–8000 dan untuk TBC resistan obat (TB-RO) adalah US$ 5000–55.000. Jika target End TB tercapai pada tahun 2030, dunia akan mencegah kerugian ekonomi sebesar USD 13 triliun[1].


Dari segi notifikasi kasus, Indonesia mengalami penurunan yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2019 terdapat 565.876 kasus TBC yang ternotifikasi, sementara pada tahun 2020 hanya terdapat 357.199 kasus yang ternotifikasi. Penurunan notifikasi yang sangat signifikan di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat ribuan kasus yang tidak ditemukan, tidak diobati dan berpotensi menyebar di masyarakat di tengah pandemi COVID-19. Hal ini merupakan permasalahan yang serius, mengingat Indonesia adalah negara dengan beban TBC tertinggi ke-2 di dunia.


Penurunan notifikasi kasus ini tidak hanya terjadi pada kasus TBC baru, tetapi juga kasus TBC Resisten Obat (TBC RO). Diperkirakan terdapat 24.000 kasus TBC RO di Indonesia setiap tahunnya. Sayangnya, pada tahun 2019 baru ditemukan 11.463 kasus TBC RO, atau terdapat kesenjangan 52,5% dari perkiraan kasus yang ada. Dari 11.463 kasus tersebut, hanya 5.531 atau 48,3% pasien yang sudah memulai pengobatan, dengan angka keberhasilan pengobatan berkisar di antara 49-51% dan angka putus pengobatan 24-26% per tahun. Pada tahun 2020, penemuan kasus TBC RO mengalami penurunan yang signifikan menjadi 7.921 atau hanya 33% dari jumlah kasus yang diestimasikan (24.000), dengan jumlah pasien yang memulai pengobatan mencapai 4.590 orang (58%)[2].


Besarnya kesenjangan penemuan kasus dan sedikitnya orang dengan TBC RO yang memulai pengobatan menunjukkan bahwa masih banyak pasien yang belum dapat mengakses layanan dan diagnosis pengobatan. Di sisi lain, besarnya angka putus pengobatan, sebagaimana tergambar pada data tahun 2019 yang berada pada kisaran 24-26%, turut mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan dan meningkatnya resiko penularan TBC RO di masyarakat.


Selain permasalahan pendanaan dan penurunan notifikasi kasus, berdasarkan temuan Perhimpunan Organisasi Pasien TB (POP TB) Indonesia, terdapat beberapa hambatan pelayanan TBC di daerah, antara lain:

  • Belum diterjemahkannya peraturan-peraturan tentang TBC di tingkat nasional ke peraturan-peraturan di tingkat daerah menyebabkan koordinasi lintas sektor di daerah kurang optimal.

  • Belum adanya peraturan tentang desa yang secara spesifik menyebutkan tuberkulosis yang dapat dijadikan rujukan bagi pemerintah desa untuk menganggarkan penanggulangan TBC melalui Dana Desa.

  • Kurangnya pelibatan komunitas oleh Pemerintah Daerah dalam perencanaan, penganggaran, implementasi, dan monitoring dan evaluasi upaya penanggulangan TBC.

  • Stigma dan diskriminasi bagi orang terdampak TBC yang masih terjadi pada berbagai sektor, termasuk pelayanan kesehatan dan ketenagakerjaan.

Berdasarkan keempat pokok bahasan yang didiskusikan, dalam diskusi informal ini, POP TB, STPI, GTBC, dan jejaring organisasi penyintas daerah juga menyampaikan rekomendasi kebijakan untuk ditindaklanjuti oleh drg. Putih Sari. Poin-poin rekomendasi yang disampaikan adalah sebagai berikut:

  1. Diperlukan peta jalan peningkatan anggaran untuk mengakhiri masalah TBC di Indonesia, mengingat masih terdapat funding gap sebesar 74% (26% didanai oleh APBN, APBD, dan donor internasional) dari total kebutuhan pembiayaan untuk mengatasi TBC di Indonesia untuk tahun 2021-2024.

  2. Mendorong penguatan pendanaan TBC, baik di tingkat nasional, provinsi, kota dan kabupaten, sebagaimana tertera pada pasal 18 dan pasal 32 Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

  3. Diterbitkannya Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis dapat menjadi payung, tidak hanya untuk mempererat koordinasi, tetapi juga menguatkan kolaborasi lintas sektor dan multipihak dalam upaya penanggulangan TBC yang merekognisi berbagai dimensi dalam upaya penanggulangan TBC, seperti politik, ekonomi, sosial, kultural, dan lingkungan. Oleh karena itu, komitmen Kementerian/Lembaga terkait yang mendapatkan mandat dalam Peraturan Presiden perlu didorong untuk segera dimanifestasikan melalui diterbitkannya kebijakan-kebijakan turunan.

  4. Memastikan Indonesia memiliki exit strategy melalui penguatan mobilisasi sumber daya domestik agar program pengendalian TBC secara bertahap dapat ditangani oleh APBN, APBD dan dana di dalam negeri lainnya, termasuk strategi pemberdayaan masyarakat melalui Dana Desa/Alokasi Dana Desa, sehingga tidak bergantung kepada bantuan asing.

  5. Memastikan bahwa pendanaan penanggulangan TBC dalam konteks pemenuhan Standar Pelayanan Minimal tersedia di Kabupaten/Kota dan digunakan seoptimal mungkin, serta tersedianya mekanisme review pencapaian setiap tahun yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), serta unsur perwakilan organisasi masyarakat sipil.

  6. Mendorong dibentuknya wadah kemitraan di tingkat nasional dan daerah untuk memastikan keterlibatan lintas sektor dan multi pihak dalam perencanaan dan penganggaran, serta pelaksanaan kegiatan untuk percepatan eliminasi TBC di tingkat pusat dan daerah sesuai mandat Peraturan Presiden No. 67/2021.

  7. Memastikan koherensi kebijakan untuk respon yang efektif, inklusif, adil, dan berkelanjutan untuk mengatasi TBC di Indonesia. Hal ini mengingat orang dengan HIV/AIDS, diabetes melitus, penasun, pekerja pabrik, penambang, petugas kesehatan TBC, dan masyarakat miskin yang tinggal di wilayah kumuh-padat merupakan kelompok populasi paling rentan menjadi sakit jika terpapar bakteri TBC.

  8. Memperkuat koordinasi lintas komisi DPR-RI dalam upaya penanggulangan TBC dengan membentuk kaukus TBC nasional. Kaukus TBC nasional dapat menjadi platform untuk memastikan akuntabilitas upaya penanggulangan TBC di Indonesia.

Menanggapi pokok-pokok bahasan yang disampaikan, drg. Putih Sari menjelaskan bahwa saat ini DPR RI sedang melakukan pembahasan anggaran, di mana anggaran penanggulangan TBC di tahun 2022 diupayakan untuk tidak mengalami penurunan, atau jika memungkinkan, justru ditingkatkan.


“Diterbitkannya Peraturan Presiden No. 67/2021 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis menjadi harapan bersama seluruh pemangku kepentingan. Oleh karena itu, rencana pendanaan yang dilakukan pada tahun 2022 seharusnya sejalan dengan momentum diterbitkannya peraturan tersebut”.


Selain itu, drg. Putih Sari juga menyebutkan bahwa Peraturan Presiden Tentang Penanggulangan Tuberkulosis ini dapat menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan Provinsi/Kabupaten/Kota guna mengakselerasi penanggulangan tuberkulosis. Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri perlu segera mengambil peran penting dalam memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah untuk menyusun peraturan-peraturan turunan dari Peraturan Presiden tersebut.


Tanggapan-tanggapan drg. Putih Sari kemudian didiskusikan lebih lanjut oleh para peserta yang hadir. Melalui diskusi tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan TBC perlu mendapatkan dorongan atau dukungan dari multi sektor dan multi pihak untuk tidak hanya berfokus pada pendekatan top-down, tetapi juga bottom-up sehingga strategi-strategi penanggulangan TBC yang dilakukan dapat merujuk pada isu-isu faktual yang berkembang di masyarakat.



Sumber: [1] Studi dampak ekonomi akibat mortalitas TBC di 120 negara oleh Harvard TH Chan School of Public Health, Imperial College London, dan University of California, San Francisco. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2214109X21002990

[2] Kementerian Kesehatan, data per 10 Mei 2021.


58 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page