Obatnya Gratis, Tapi Hidupnya Tidak: Menagih Bantuan Sosial untuk Pasien TB Indonesia dalam Revisi Perpres TB
- Stop TB Partnership ID

- 12 menit yang lalu
- 3 menit membaca

Jakarta — Berbagai tantangan sosial-ekonomi yang dialami pasien Tuberkulosis (TB) mengemuka dalam webinar “Perlindungan Sosial bagi Orang dengan Tuberkulosis” yang diselenggarakan oleh Stop TB Partnership Indonesia (STPI) pada Rabu, 3 Desember 2025. Kegiatan ini menyoroti fakta bahwa beban terbesar pasien TB bukan berasal dari obat yang telah disediakan gratis, melainkan dari biaya tak langsung dan kehilangan pendapatan yang kerap menjerumuskan keluarga pasien ke dalam jurang kemiskinan baru.
Meskipun Indonesia terus memperkuat upaya eliminasi TB, para pembicara menekankan bahwa keberhasilan pengobatan tidak hanya ditentukan oleh kepatuhan minum obat, tetapi juga oleh kemampuan pasien bertahan secara ekonomi selama masa terapi yang panjang.
Pasien TB Masih Menghadapi Beban Finansial Berat
Para penyintas TB yang hadir menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi keluarga ikut terganggu saat seseorang terdiagnosis TB. Pak Agung, salah satu penyintas TB dan tulang punggung keluarga, membagikan kisahnya mengenai sulitnya memenuhi kebutuhan hidup di tengah kewajiban berobat setiap hari.
“BPJS saya gak aktif karena menunggak dua tahun. Untuk aktifkan BPJS saja sudah berat, belum lagi harus ke layanan setiap hari dan disuntik setiap hari. Bulan pertama saja sudah terasa sangat berat,” ujar Agung.
Ia menegaskan bahwa bantuan dengan bentuk fleksibel sangat dibutuhkan oleh pasien, terutama bagi pekerja harian atau pekerja informal. “Uang transport dalam bentuk cash itu paling penting, karena bisa dipakai juga untuk beli kebutuhan nutrisi dan lainnya,” jelas Dewi selaku penyintas TB-RO.
Temuan Penelitian: Obat Gratis Tidak Menutup Total Biaya TB
Dalam pemaparannya, Silvi Indriani S.Kep, Ners sebagai tim peneliti RC3ID mengungkap bahwa pasien TB sering kali menjalani beberapa kali kunjungan ke fasilitas kesehatan sebelum mendapatkan diagnosis definitif. Hal ini menimbulkan biaya tambahan yang sering kali tak terlihat oleh sistem.
“Obatnya memang gratis, tetapi kunjungan berulang ke layanan kesehatan itu tidak gratis. Lebih dari 50% pasien kehilangan pendapatan akibat TB, dan satu orang sakit berarti satu keluarga terdampak,” jelasnya
Biaya terbesar justru berasal dari transportasi harian, makanan tambahan, dan hilangnya jam kerja. Pasien TB Resisten Obat (RO) bahkan menanggung perjalanan yang lebih jauh dan perawatan yang lebih panjang bisa mencapai 37 juta dari awal diagnosis hingga sembuh. Kondisi ini membuat banyak keluarga jatuh ke dalam kategori rentan, bahkan terancam miskin karena TB.
Arah Kebijakan: Perlindungan Sosial Harus Terintegrasi Lintas Kementerian
Kementerian Kesehatan RI menyampaikan bahwa pemerintah sedang melakukan langkah strategis untuk memperkuat aspek perlindungan sosial dalam upaya eliminasi TB. Hal ini tercermin melalui penyelesaian revisi Peraturan Presiden No.67 Tahun 2021 tentang penanggulangan TB yang akan memperjelas tanggung jawab setiap kementerian terkait.
“Revisi perpres akan mengatur lebih jelas peran kementerian lain. Jika pasien kehilangan pekerjaan, itu menjadi tugas Kemenaker. Jika pasien informal kehilangan pendapatan, Kemensos harus memikirkan skemanya. Target penyelesaian revisi ini pada 2026,” ujar dr. Triya Novita Dinihari selaku Ketua Tim Kerja TB dan ISPA Kemenkes RI.
Ia menambahkan bahwa pemenuhan gizi, perumahan layak huni, serta penanganan pasien TB di tempat kerja juga masuk dalam fokus pembahasan lintas kementerian. Pemerintah juga menegaskan bahwa koordinasi akan diperkuat melalui Kemenko PMK untuk memastikan dukungan menyeluruh bagi pasien dan keluarganya.
Tanggapan dari Kemensos juga menyampaikan bahwa kemensos akan menindaklanjuti jika arahan dan kebijakan sudah ada. “Perlu regulasi yang secara jelas mengarahkan tambahan komponen PKH (Program Keluarga Harapan), dan secara spesifik merincikan syarat-syarat yang harus dilakukan penerima manfaat bagi pasien TB “ ujar Anto Roy yang mewakili Direktur Jaminan Sosial Kementerian Sosial.
Dewan Penasehat STPI dr Donald Pardede juga menyoroti “setiap program TB di kementerian manapun, harus memasukan Indikator tentang sosio ekonomi seperti adanya pengurangan beban finansial dari pasien TB” ujar beliau guna mencapai eliminasi TB yang lebih komprehensif.
Eliminasi TB tidak dapat hanya ditangani melalui pendekatan klinis. Perlindungan sosial harus menjadi bagian integral dari strategi nasional, mulai dari bantuan transport, dukungan nutrisi, mitigasi kehilangan pendapatan, hingga regulasi ketenagakerjaan yang melindungi pasien TB dari pemutusan hubungan kerja.
Ketika pasien terlindungi secara ekonomi, peluang keberhasilan pengobatan meningkat, penularan dapat ditekan, dan keluarga tidak terperosok ke dalam kemiskinan baru. Dengan dukungan kebijakan yang lebih kuat dan koordinasi lintas sektor, Indonesia diharapkan dapat melangkah lebih dekat menuju target eliminasi TB tahun 2030.
















Komentar