top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Makna Hari Kartini: Emansipasi Wanita dengan Tuberkulosis


Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Hari tersebut diusung karena perjuangan Raden Ajeng Kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita. Pada masanya, wanita masih belum setara pemenuhan hak-haknya dibandingkan dengan pria. Pada masa dahulu, perempuan banyak yang mengalami penyakit, termasuk R.A Kartini yang meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Namun, seiring berkembangnya zaman, perjuangan dari R.A Kartini membuahkan hasil yang membawa perubahan pada pemenuhan hak perempuan baik dalam aspek sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan dll.


Emansipasi wanita sendiri merupakan usaha untuk memenuhi hak-hak para perempuan terhadap hak-hak laki-laki yang bertujuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan dll. Namun, emansipasi wanita tidak hanya membahas hak-hak wanita saja tapi juga tentang bagaimana meningkatkan nilai dari seorang perempuan untuk terus maju dan mengembangkan diri tanpa menghilangkan jati dirinya.


Membicarakan terkait hak-hak wanita di bidang kesehatan, nampaknya masih belum terpenuhinya fasilitas kesehatan di Indonesia pada layanan TBC bagi perempuan. Pentingnya perlakuan khusus bagi perempuan di layanan TBC, bukan untuk menjunjung tinggi perempuan dan mendiskriminasi laki-laki namun untuk menyesuaikan kebutuhan perempuan yang terdampak TBC. Misalnya perempuan hamil yang berkontak erat dengan pasien TBC, perempuan yang sedang menjalani pengobatan TBC namun menggunakan kontrasepsi, perempuan yang menyusui dan perlu membawa anaknya ketika melakukan pemeriksaan TBC di layanan kesehatan. Tentu hal seperti ini perlu menjadi perhatian dalam pengendalian TBC mulai dari skrining hingga pengobatan.


Penelitian yang dilakukan oleh Rokhmah (2013) menemukan bahwa dalam proses pencarian pasien TBC lebih banyak jenis kelamin perempuan yang ditemukan dibandingkan laki-laki. Walaupun pada hasil diagnosis, laki-laki adalah kelompok yang paling banyak kasus TBC positif dibandingkan perempuan. Ketimpangan proses pencarian tersebut dapat terjadi akibat stigma yang dialami oleh perempuan. Perempuan yang memiliki tingkat ekonomi rendah sangat sering mendapatkan penghidupan yang tidak layak, contohnya aktivitas memasak masih banyak yang menggunakan bahan bakar kayu sehingga sering terpapar asap rumah tangga, selain itu mereka lebih sering berada di rumah dengan minim ventilasi yang memadai sehingga kerap kali mengalami pneumonia yang dicurigai TBC. 


Pada masa kehamilan, perempuan lebih sulit mengakses pengobatan yang memadai bahkan sangat rentan dibandingkan pada perempuan yang tidak hamil. Seperti data keamanan pengobatan TBC resisten obat menggunakan Bedaquiline dan Delamanid pada ibu hamil masih terbatas. Sebuah penelitian menunjukkan sensitivitas skrining TBC pada ibu hamil hanya 28% karena terdapat gejala kehamilan yang mirip dengan gejala TBC sehingga sulit untuk dilakukan skrining TBC pada ibu hamil. Tantangan tersebut juga bersumber dari keterbatasan X-Ray untuk melakukan skrining pada ibu hamil (Hoffman, Variava, Rakgokong et al., 2013 in Stop TB Partnership, 2021).


Ketimpangan akses informasi TBC juga masih belum merata bagi perempuan. Walaupun kita merasa banjir informasi TBC, namun hasil Susenas 2022 menunjukkan bahwa akses internet untuk kepala rumah tangga perempuan hanya 36,47% dibandingkan laki-laki mencapai 61,33%. Data tersebut menyadarkan kita bahwa tidak semua perempuan memiliki akses informasi internet yang sama terkait TBC sehingga dapat berimplikasi pada kesehatan mereka tentunya.


Dari sisi sosial pun perempuan memiliki beban yang hampir sama seperti laki-laki. Jika laki-laki sering dikaitkan dengan hilangnya pekerjaan pada saat terdiagnosa TBC, perempuan sering mengalami stigma dan diskriminasi di lingkungan sosialnya. Perempuan dianggap tidak mampu merawat keluarganya dengan baik apabila terdapat salah satu keluarganya yang mengalami TBC, diceraikan oleh suami karena sakit TBC bahkan dikucilkan dari keluarganya karena dianggap tidak sehat. Namun, tentu semua hal tersebut dapat dicegah dengan  merencanakan pelayanan kesehatan yang berbasis gender, tentunya menyesuaikan kebutuhan khusus bagi perempuan agar hak-hak perempuan dalam sisi layanan TBC semakin baik.


2 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page