Demi Sebuah Pembuktian
Mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya, jika dalam perjalanan hidup saya akan menjadi seorang pejuang sembuh TB. Saya tidak mau menyebutnya sebagai penderita TB karena seakan begitu menderita dan terpuruknya seorang pasien TB itu. Mereka seorang pejuang yang sedang berjuang untuk sembuh dari TB.
Tentu bukan hal yang menyenangkan ketika didiagnosa sakit TB, apalagi dua TB sekaligus. TB Paru dan TB Tulang Belakang.
Kaget? Pasti.
Bisa langsung menerima ? Tentu tidak.
Sebuah proses menerima ketika menjadi pasien TB pun saya alami, butuh waktu beberapa bulan untuk akhirnya bisa legowo jika saya memang sakit TB. Saya didampingi para Dokter Spesialis yang luar biasa. Dokter Paru, Dokter Ortopedi dan Dokter Rehabilitasi Medik. Sebuah intensitas pengobatan yang berdurasi panjang menjadikan hubungan saya mungkin lebih dari sekedar pasien TB dengan Dokter. Melainkan seperti teman yang saya tidak canggung untuk menyampaikan setiap keluhan. Bahkan berkat Dokter Paru inilah saya akhirnya nerimo jika saya sekarang sedang sakit TB.
Bayang-bayang stigma dan diskriminasi terhadap pasien TB inilah yang membuat saya menutup diri dari sekian pertanyaan orang-orang, saya sakit apa?
Bahkan ketika TB Paru saya sudah sembuh dan bersih di bulan ke-5 pengobatan pun tetap tak menghilangkan pandangan tersebut. Saya minum OAT selama 24 bulan. Sebagai pasien TB Tulang Belakang saya masih harus tetap bersyukur ketika didiagnosa dalam kondisi belum sampai parah sehingga tidak perlu operasi. Saya setiap malam dibangunkan rasa nyeri yang rasanya tak perlu ditanyakan lagi.
Entah sudah berapa kali MRI dan CT-Scan yang saya jalani, sudah ribuan obat yang saya telan setiap harinya selama 24 bulan itu. Yang ada dalam pikiran saya adalah saya harus sembuh. Saya tidak mau kalah dengan bakteri TB yang tidak kelihatan secara kasat mata namun mematikan ini.
Tantangan bagi setiap pasien TB ini tidak sebatas pada rasa sakit yang dirasakan, seperti batuk baik berdahak atau tidak bahkan batuk berdarah, ada yang sesak, ada yang nyeri dada dan lain sebagainya. Belum lagi untuk pasien TB extra paru, keluhannya pun lebih beraneka ragam. Tantangan lainnya adalah munculnya ESO alias Efek Samping Pengobatan yang sangat banyak walaupun tidak setiap pasien akan mengalaminya. ESO terhebat saya adalah ngilu pada persendian kaki dan tangan saat fase intensif OAT merah. Ketika saya melangkah turun dari teras saja terasa oleng ketika tidak berpegangan. Saat di rumah saya memakai tongkat, tetapi ketika di kantor saya tanpa tongkat. Karena saya tidak mau menjadi omongan terkait sakit TB saya.
Sebuah konsistensi tengah diuji pada pasien TB. Disiplin minum obat tanpa terputus dalam durasi panjang. Belum lagi pandangan stigma dari sekitar yang mungkin akan mempengaruhi psikisnya dan bisa jadi membuatnya enggan memakai masker di awal pengobatan dan tidak mau menuntaskan minum obat karena malu. Malu ketahuan kalau sedang sakit TB.
Saya mengalami itu, ketika menjalani pengobatan mendapatkan “diskriminasi” walaupun dibalut kata “demi kesehatan saya”. Saya tidak terima, saya bangkit “melawan” untuk membuktikan walau sakit TB saya masih bisa seperti yang lain. Saya masih bisa seperti dulu, jangan bedakan saya. Dokter satu-satunya tempat curhat saya kala itu, saksi tumpahnya air mata saya. Jadi sebagai pasien saya tidak merasa sedang berjuang sendiri.
TB banyak mengubah hidup saya, saya yang dulu kurang peduli terhadap kesehatan sekarang menjadi sangat tanggap terhadap “alarm” tubuh. Saya dulu yang malas sekali minum obat walau sedang sakit, sekarang menjadi sangat disiplin ketika waktunya minum OAT. Saya takut terlewat.
Proses demi proses saya jalani dengan ikhlas dan semangat, demi satu kata SEMBUH.
Selama satu tahun pertama tubuh saya begitu dimanjakan tidak boleh melakukan banyak gerakan dan diikat rapat TLSO dibalik baju. TLSO yang memanjang sepunggung memang membuat badan saya menjadi tidak bebas bergerak dan sakit. Begitu melegakan ketika akan tidur TLSO dilepas, seakan ingin berkata “dan nikmat Tuhan mana yang kau dustakan.”
Setelah berjalan satu tahun saya pun mulai meminta ijin ke Dokter untuk olahraga. Jalan kaki dulu. Diizinkan dengan syarat tetap memakai TLSO dan jangan dipaksakan. Dari berjalan kaki beberapa bulan kemudian minta ijin untuk naik sepeda. Diizinkan dengan syarat tetap memakai TLSO, jalannya harus yang beraspal halus dan sepedanya tidak yang membungkuk. Beberapa bulan kemudian saya diijinkan berlari masih dengan syarat memakai TLSO dan jangan dipaksakan.
Sebuah proses panjang yang tentu tidak mudah demi sebuah kesembuhan. Dan ketika saya sembuh tepat di 25 Mei 2021 lalu terasa seperti pada titik pencapaian yang luar biasa. Walau saya pun tersadar jika masih bisa tertular kembali kedepannya. Tetapi dari proses ini saya juga belajar untuk menghindari apa-apa yang bisa membuat saya tertular kembali.
Dari kesembuhan ini juga saya akhirnya memutuskan untuk menjadi relawan TB, saya bergabung di salah satu organisasi TB. Selain itu juga saya menjadi admin di WAG TB Pejuang Sembuh yang beranggotakan sekitar 240 orang dan di Grup FB “Kisah Pejuang TB” yang anggotanya ribuan orang.
Dengan menjadi relawan saya banyak tahu tentang masih menjamurnya hoax-hoax tentang TB, maraknya penjual obat herbal yang menggoda beralih dari OAT, tentang stigma terhadap pasien TB yang mulai dipisahkan alat makannya sampai ada yang diberhentikan dari pekerjaannya, tentang susahnya proses di faskesnya, tentang moment ketika mendapat Dokter yang sekedar menulis resep belaka tanpa bersedia komunikatif menjelaskan maupun mendengarkan keluhan, tentang kebutuhan penunjang kesembuhan seperti asupan gizi yang sulit didapatkan karena faktor ekonomi, tentu hal ini semua sangat memprihatinkan.
Sesekali kita di grup membuka donasi untuk sekedar membelikan susu, biaya transportasi ke RS maupun untuk membeli vitamin bagi pasien yang ada di grup.
Setahun lalu buku saya tentang kisah nyata selama sakit TB pun sudah terbit, sebagian hasil penjualannya saya berikan untuk support gizi pasien TB yang membutuhkan.
TB bagi saya bukan sekedar sebuah penyakit yang sangat menyebalkan, melainkan menjadi sebuah inspirasi dan bisa mengubah hidup saya. Para pejuang sembuh TB mereka hanya butuh didengar ketika mengeluh tentang sakitnya, tentang ESOnya. Bukan dijustifikasi tanpa empati. Mereka jauh lebih nyaman bercerita ke sesama survivor yang sama-sama merasakan. Kalian orang-orang yang spesial, pejuang yang gigih untuk kesembuhan.
Cukup sekali saya sakit TB, walaupun tak akan cukup sekali saya untuk terus tertarik tentang TB.
Terima kasih Tuhan telah memberikan para support system yang hebat, seperti para Dokter pendamping saya.
Bersama mari kita wujudkan Indonesia Bebas TB 2030.
Salam Sehat, Salam #TOSSTB
"Nerimo itu kunci awal pintu kesembuhan"
- Luluk Widyastuti -
Sekilas tentang penulis:
Luluk Widyastuti adalah seorang perempuan pejuang TBC pada 10 Juni 2019 hingga 25 Mei 2021 yang berasal dari Kediri Jawa Timur. aktivitasnya saat ini sebagai seorang karyawati swasta sekaligus aktivis dan relawan TBC.
Kisah pejuang lainnya:
Comentarios