top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Pria Penabur Kebaikan: Kisah Orang Spesial Mantan Pasien TBC RO



Ia tak kuasa menahan kesedihan. Di Poli TBC Resisten Obat (RO) RSU Pusat H. Adam Malik Medan, selepas mendampingi pasien-pasiennya, ia ceritakan kisah pahit yang pernah terjadi. Kehilangan satu per satu keluarga tercinta teramat menyakitkan. Ia tak menyangka bakal ditinggalkan ayah, ibu, dan kakak lebih awal. Bahkan apa yang diderita mereka, Ris’an pun merasakannya. Saat ditanya penyebabnya, ia menjawab: TUBERKULOSIS (TBC).


Ris’an Nasution lahir dan tumbuh di pesisir kampung Batu Mundom, Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Butuh waktu 16 jam tiba di rumahnya dari Kota Medan. Ris’an dan keluarga pernah merasakan tanpa listrik. Sebelumnya, warga memanfaatkan mesin pembangkit (genset) milik tetangga.


Ris’an tinggal di rumah yang sederhana. Ia mempunyai 2 orang kakak dan 1 adik perempuan. Ayahnya seorang nelayan. Kakak pertamanya, Rusdi Nasution, membantu ayah ikut ke laut mencari ikan untuk makanan ternak. Semenjak pukat harimau dilarang, mereka tak lagi melaut. Mata pencaharian hilang dan beralih menjadi peternak.


Tahun 2010, ayah Ris'an dan kakaknya mengeluh sakit. Batuk dan sesak selama berminggu-minggu. Pikirnya, itu hanya batuk biasa. Tak dihiraukan karena harus terus mengais rezeki. Bukan tanpa alasan mereka enggan berobat, akses pelayanan kesehatan di sana sangat terbatas.


“Abang dan ayah diam saja awalnya, lama kelamaan sakitnya makin parah," ungkap Ris’an.


Bak disambar petir di siang terik, Rusdi meninggal dunia. Usia Rusdi masih 23 tahun saat itu. Keluarga kehilangan anak tercinta. Tidak sampai di situ, mereka dan tetangga merasa heran. Entah penyakit apa yang diderita kakaknya sampai harus wafat.


Berselang 28 hari, ayahnya tutup usia. Keluarga kembali berduka. Isak tangis Ris’an makin bertambah. Tetangga dan keluarga lain menduga-duga dan punya prasangka yang tidak baik. Penyakit aneh yang menimpa keluarga Ris’an menjadi perbincangan tetangga.


“Manakala hidup terasa menjepit, tengadahlah ke langit, di sana kau akan melihat, bebanmu menyusut berjuta kali lipat.” Pekikan si penulis Sam Haidy mau tak mau Ris’an dan keluarga harus tetap tegar dan harus melanjutkan hidup.


Ris’an kecil harus membantu mengurus rumah saat ibunya bekerja untuk menafkahi dirinya, kakak perempuan dan adik perempuan. Sedih, pilu, dan perasaan yang tidak bisa dikatakan lagi. Menjelang kelulusan SMA, Ibunya meninggal dunia setelah beberapa bulan menjalani pengobatan TBC.


“Ibu berobat TBC di kampung, tertular dari ayah. Belum selesai pengobatan, ia meninggal dunia. Hancur hidupku, mengerikan sekali penyakit itu,” ungkap Ris’an sambil mengusap air mata yang sontak keluar dari matanya.


Bertarung Melawan TBC RO


Ris’an hijrah ke Medan. Ia tinggal bersama sepupunya, Hadis (43). Ris’an membantu Hadis berjualan aksesoris: topi, kacamata, dan lainnya.


Dengan dukungan keluarga dan modal hasil tabungan berjualan selama di Medan, ia kuliah di salah satu universitas swasta Kota Medan dan mengambil jurusan Akuntansi.


Beberapa waktu kemudian, sepulang kuliah Ris’an harus menjaga kakaknya, Mega, yang dirawat di rumah sakit karena positif TBC Resisten Obat (RO). Karena kurangnya pengetahuan dan proteksi diri, beberapa bulan kemudian, Ris’an divonis positif TBC Resisten Obat.


“Aku positif TBC RO tahun 2016. Saat menjaga kak Mega, tak kupedulikan menjaga diri jarang aku pakai masker, tidur saja seperti biasa,” katanya dengan nada kecewa.


Ia harus menjalani pengobatan jangka panjang hingga 2 tahun. Fase awal sangat berat baginya hingga timbul depresi. Rochman Basuki pada penelitiannya di tahun 2014 mengatakan Gangguan depresi berat sering kali terkait dengan tingginya risiko penularan dan dampak lebih buruk terhadap proses pengobatan anti TBC. Pada beberapa orang yang menderita penyakit kronis seperti TBC, risiko terjadinya depresi dapat diperburuk oleh adanya masalah sosial ataupun hubungan dengan masyarakat sekitar dan buruknya tingkat kesehatan yang dirasakan oleh penderita.


Suatu hari, Ris’an mencoba untuk bunuh diri. Hadis, sepupu Ris’an bercerita bagaimana penderitaannya saat menjalani pengobatan. Hadis pernah memarahinya karena enggan minum obat. Padahal ia melihat bagaimana Ris’an kesakitan menahan sakit.


“Sudah disiapkannya tali, diikatnya di tiang atap. Syukurnya, ia urungkan niat tersebut. Ris’an kemudian menelepon saya. Langsung saya pulang karena takut ada apa-apa,” ungkap Hadis.


Niat bunuh diri belum berujung. Ia beli Alkohol 70% Antiseptik di apotek untuk diminum dan mengakhiri hidupnya. Efek Samping Obat (ESO) yang tidak tertahankan menjadi pemicu. Dalam batinnya bunuh diri adalah solusi terbaik. Niatnya tak jadi terlaksana. Seketika Ris’an teringat dosa besar dan balasan di akhirat yang lebih parah.


Beberapa minggu kemudian, Syaiful Bahri, saat itu pendamping pasien TBC RO datang ke rumahnya membawa Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Syaiful adalah orang yang berjasa karena mendampingi Ris’an sampai sembuh. Syaiful merupakan anggota Organisasi Pesat (Pejuang Sehat Bermanfaat), sebuah wadah berkumpul mantan pasien TBC RO di Sumatera Utara yang bertugas mendampingi, memberi motivasi dan edukasi kepada pasien.


“Setiap bertemu, saya selalu memotivasinya. Saya katakan saya dulu juga pasien. Sabar dalam menjalaninya, nanti setelah beberapa bulan minum obat, lama-lama efek sampingnya juga hilang. Lihat kakakmu bisa sembuh. Hubungi saya jika kamu butuh teman berbagi informasi. Saya tidak sungkan untuk meluangkan waktu,” ungkap Syaiful.


drg. Oscar Primadi, MPH dalam artikelnya mengatakan cara mencegah dampak depresi adalah berkomunikasi dengan orang yang kamu percaya dan menjaga hubungan baik dengan keluarga, teman, dan orang sekitar. Beruntung, Ris’an punya keluarga dan teman yang sayang dengannya. Selesai menjalani pengobatan dan dinyatakan sembuh, Ris’an bersyukur. Setelah itu, Ia bergabung dengan Pesat dan bertekad membantu pasien TBC RO agar sembuh.


Semakin hari berat badannya bertambah. Paras wajahnya kian cerah, menenggelamkan kisah pilu yang pernah dirasakan. Tak ada lagi jarum suntik dan niat bunuh diri karena ESO. Ris’an kembali membantu sepupunya berjualan dan eksis sebagai anggota Pesat Bersama Syaiful.


Ris’an semakin bertumbuh. Dengan perjuangan dan pengalaman, ia mendampingi puluhan pasien TBC RO sampai sembuh. Sekarang ia dipercaya menjadi Manajer Kasus Program TBC RO PMDT Rumah Sakit Adam Malik Medan oleh Yayasan Mentari Meraki Asa. Di usia 27 tahun, ia melanjutkan kuliah setelah sebelumnya putus akibat TBC dengan mengambil jurusan Sistem Informasi.


Ris’an pernah mengalami depresi dan sembuh. Kini ia ingin seperti Habibie, yang terus melanjutkan cita-cita walau sempat terbaring lemah karena TBC. Ia juga ingin seperti Sudirman, bergerilya melawan penjajah walau tubuhnya kaku akibat menahan sakitnya TBC. Ia juga ingin menjadi orang spesial seperti Duta Sheila On 7, bersuara melantunkan pekikan Indonesia bebas TBC, walau sempat kehilangan nada-nada indah dari mulutnya karena dihimpit kuman TBC.




"Saya kehilangan Ayah, Ibu, dan Abang. Tetapi saya tidak mau kehilangan momentum

untuk menjadi manusia bermanfaat"

-Risan Nasution-


“Seperti kunang-kunang yang memberikan cahaya di tengah kegelapan,

begitulah eksistensi kita sebagai manusia”.

- Ahmad Hakiki-


Ahmad Hakiki adalah seorang Kepala SSR Yayasan Mentari Meraki Asa Kota Medan yang berdomisili di Kota Medan. Ia mendampingi Risan Nasution sebagai seorang pejuang TBC yang terdiagnosa pada pertengahan tahun 2016 dan dinyatakan sembuh pada 9 September 2018.



Kisah Pejuang lainnya:




326 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page