top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Bersisurut Progres Eliminasi Tuberkulosis 2030 Akibat Pandemi COVID-19


Sosialisasi TBC di Pesantren (2019)


Badan Kesehatan Dunia menyatakan setiap tahun 10 juta penduduk dunia jatuh sakit akibat Tuberkulosis (TBC) dan penyebaran penyakit ini dapat meluas di tengah pandemi COVID-19. Sebuah kajian yang dipublikasikan 6 Mei 2020 menegaskan bahwa pandemi COVID-19 akan mengancam hasil upaya memerangi TBC yang dicapai dalam 5-8 tahun terakhir. Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh Stop TB Partnership (global) bersama Imperial College, Avenir Health dan Universitas John Hopkins dengan dukungan USAID mengindikasikan jumlah orang dengan TBC pada 2025 akan bertambah 6.3 juta dan kematian akibat TBC bertambah 1.4 juta di dunia.


Situasi pandemi ini mengakibatkan deteksi kasus di berbagi negara menurun dan tentunya muncul tantangan baru dalam pengawasan pasien TBC yang harus minum obat secara teratur. Bertepatan dengan Hari Tuberkulosis Sedunia, 24 Maret 2020, Kementerian Kesehatan mengedarkan Protokol Pelayanan TBC di Masa Pandemi COVID-19 untuk memastikan bahwa layanan TBC tetap berjalan. Pasien TBC dapat membawa obat anti TBC (OAT) untuk durasi lebih panjang sehingga pasien tidak perlu pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan setiap hari.


Dalam situasi pandemi COVID-19 dan diterapkannya PSBB di beberapa daerah, sekitar 25% Puskesmas tidak lagi melakukan diagnosis TBC melalui pemeriksaan dahak. Pasien TBC menghadapi beberapa tantangan, terutama pasien dengan resistensi obat, karena pasien perlu mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan untuk suntik atau kontrol dahak ulang serta konsultasi klinis.“Kader dan pendamping pasien TBC menyampaikan tantangan terbesar pasien adalah transportasi karena tidak semua rumah tangga pasien TBC memiliki kendaraan pribadi. Sebelumnya beberapa pasien menggunakan ojek untuk ke Rumah Sakit atau Puskesmas”, ungkap Penasihat Senior Program TBC Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama, Dr. Esty Febriani, yang terlibat sebagai Dewan Penasihat STPI dan anggota WHO Civil Society Task Force.


Menurut Ani Herna Sari, Wakil Ketua Perkumpulan Arek Nekat (REKAT) Surabaya, sebuah organisasi penyintas dan pasien TBC resisten obat, “Di masa pandemi COVID-19, pasien TBC perlu mengakses Jaring Pengaman Sosial yang disediakan pemerintah, seperti Bantuan Tunai Langsung dari Dana Desa serta Kartu Sembako. Perlu perhatian dari Ketua RT/RW dan Kepala Desa atau Kelurahan mengenai kebutuhan sosial dan ekonomi para pasien resisten obat. Pasien telah kehilangan pekerjaan dan pendapatan saat menjalani pengobatan TBC selama 6 bulan atau lebih, dan semakin buruk situasinya dalam situasi pandemi COVID-19 ini”.


Telah kita ketahui bersama, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa TBC di Indonesia tertinggi ketiga di dunia saat membuka Rapat MUSREMBANGNAS (30/4). Setiap hari 2.300 orang jatuh sakit akibat TBC di Indonesia. “Pemerintah Daerah tidak boleh lupa bahwa TBC termasuk Standar Pelayanan Minimal, sehingga alat diagnosis, masker (N95 dan bedah), logistik obat serta sumber daya manusianya harus tersedia untuk tetap melayani orang terduga TBC sesuai Permenkes No.4 Tahun 2019.”, menurut Heny Akhmad, Direktur Eksekutif STPI.


Stop TB Partnership Indonesia ingin menekankan kembali bahwa Pemerintah bersama organisasi masyarakat, tenaga profesi kesehatan, akademisi dan peneliti, serta media perlu menyiapkan strategi untuk kembali mengejar upaya eliminasi TBC 2030. Pemulihan hasil capain program yang telah diperoleh selama beberapa tahun terakhir akan membutuhkan investasi untuk sistem kesehatan nasional dan daerah yang mencakup peningkatan penemuan kasus secara aktif, keterlibatan masyarakat yang intensif dan pelacakan kontak. Hal ini tidak dapat bersifat business as usual tetapi inovatif dan kreatif memanfaatkan teknologi digital baik untuk diagnosis maupun upaya pencegahan.


Dalam Rapat Dengar Pendapat pada 14 April 2020, Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat telah mendesak Kementerian Kesehatan untuk tidak merealokasikan sumber daya penanggulangan TBC dan Demam Berdarah Dengue meskipun di masa pandemi COVID-19. Selain itu, sejak 24 Februari 2020, Menteri Sekretariat Negara telah menyampaikan pada Menteri Kesehatan bahwa penyusunan rancangan Peraturan Presiden tentang Tuberkulosis harus diselesaikan pada tahun 2020.

164 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page