top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Tuhan tidak adil, mengapa harus saya? Tapi jika tidak, siapa lagi?

Sebuah kisah pejuang hingga menjadi pemerjuang tuberkulosis



Tahun 2019 adalah masa suram bagi saya. Harusnya tahun itu menjadi tahun terbahagia karena pada tahun ini saya resmi bisa masuk perguruan tinggi yang diimpikan banyak orang itu. Tetapi Tuhan sepertinya tidak setuju jika saya mendapatkan kebahagiaan. Kalian ingat pandemi Covid-19 yang banyak membuat Indonesia kelabakan saat itu? Ya, berbarengan dengan itu hal buruk lain terjadi pada saya. Tahun pertama sebagai mahasiswa baru program kesehatan masyarakat mendapatkan pelajaran baru yang tidak terprediksi.


Awal kecurigaan dimulai saat memeriksakan Ibu ke dokter spesialis dalam, dokter bukan hanya memeriksa Ibu kala itu. Ia bertanya pada saya


“Mba mau coba saya periksa nggak?” begitu ujar dokter.


“Lah, kenapa jadi saya yang di periksa. Saya kan tidak sakit”. Begitu kurang lebih pemikiran saya saat itu.


Tidak banyak curiga, saya turuti keinginan dokter.


“ Mba kalau pas tidur suka keringetan nggak?” tanya dokter.


“Iya dok, saya pasti keringetan. Mau cuacanya lagi sumuk atau hujan pas bangun tidur pasti keringetan” balasku


Setelah dokter periksa paru saya dengan stetoskop kala itu. Dokter bilang seperti ini,“Mba maaf ya, ini saya periksa karena dari tadi saya lihat mba batuk katuk terus. Jadi saya ingin coba memastikan saja. Ini baru dugaan saya, sepertinya mba harus cek lab dan rontgen deh” Begitu terangnya.


Ternyata “iseng” dan rasa penasaran dokter itu persis sesuai dugaan. Hasil pemeriksaan medis dan diagnosis dokter kala itu menyebutkan bahwa saya terkena tuberkulosis paru (kala itu masih kategori SO).


Saya harus berobat selama 6 bulan tanpa putus. Kaget kan? Kenapa kaget? Iya 6 bulan, minum obat ukuran besar setiap hari. Meskipun saat itu saya ditawari untuk berobat di puskesmas terdekat, tapi atas banyak pertimbangan “stigma masyarakat” yang bisa saja menimpa saya dan keluarga. Kami memutuskan untuk berobat ke klinik pribadi dokter yang notabenenya harus membayar biaya periksa dan obatnya.


Kalian mengira cerita saya berakhir sampai situ?


Tentu saja bukan, sebulan saya menjalani pengobatan banyak sekali hambatannya dari mulai rasa jenuh, efek samping obat yang membuat saya mual, muntah, pusing, dan banyak aktivitas saya yang tidak bisa dilakukan. Sebulan penuh saya hanya bisa berbaring di tempat tidur. Kala itu saya masih semangat dan mau untuk bertahan untuk menjalani hidup walaupun sulit.


Melihat kondisi yang cukup memprihatinkan. Keluarga saya mencari solusi lain yang sekiranya bisa dilakukan. Dibawa-lah saya ke tempat “alternatif” yang katanya bisa menyembuhkan penyakit. Praktik alternatif ini berbasis keagamaan dengan mengusahakan obat tradisional, dan melihat penyakit sebagai hal yang datang karena ada “gangguan” yang memang tidak bisa diselesaikan oleh pendekatan medis. Makanya, saat kami berobat disana kami diharuskan fokus menyadari bahwa penyakit datangnya dari Tuhan, dan kami diharuskan untuk berhenti mengonsumsi obat. Apakah kalian menyadari ada yang ganjal dengan kalimat barusan? Ya, dengan pendeknya pikiran, kami memutuskan untuk tidak konsumsi obat TB. Kami fokus pengobatan alternatif selama 6 bulan.


Cukup tidak masuk akal tapi saya mengalami banyak peningkatan fisik saat itu, sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk rontgen dengan asumsi “Jika memang pengobatan alternatif ini efektif, maka seharusnya bakteri di pari-paru saya sudah hilang”. Tetapi dugaan saya patah kala itu, karena ternyata presentase bakteri hanya berkurang sekitar 70% dibandingkan dengan hasil rontgen pertama. Jadi kesimpulannya, saya masih sakit saat itu. Pengobatan alternatif tidak efektif, malah saya mengalami penyesalan berat. “Jika saya tidak putus obat saat itu, mungkin saat ini saya sudah sembuh jika makan obat”.


Penyesalan itu yang membuat saya berpikir ulang.


“Sepertinya saya harus konsumsi obat lagi”


“tapi saya juga takut disalahkan”


“tapi jika saya tidak berobat akan lebih fatal akibatnya”


Banyak sekali pikiran negatif hinggap dikepala saya. Akhirnya bertekad ulang untuk berobat lagi sampai sembuh ke dokter. Karena saya pernah berhenti minum obat, saya tidak bisa mengeluh lagi, saya harus menelan obat selama 18 bulan karena resisten. Perjalanan panjang bukan? Ya, tentu saja tidak mudah, tapi semuanya ada konsekuensinya. Kalian bisa mengambil hikmahnya sendiri dari kisah ini. Jika kalian sadar, saya yang masih muda kala sakit dulu, dan jelas sudah terpapar ilmu kesehatan pula (karena bidang kuliah) tidak luput dari “cobaan”pengobatan tuberkulosis ini.


Kini saya sudah sembuh total dan lulus kuliah. Saya ikut terlibat sebagai patient suport untuk pasien resisten tuberkulosis di suatu National Government Organization. Alasan kuat saya ingin terlibat adalah karena saya sadar, saat dulu saya sakit, tidak mudah menjalani pengobatan tanpa dukungan orang lain. Saya harap kehadiran saya dapat mendukung mereka selesai pengobatan. Sebegitu kuat ingatan saya tentang tuberkulosis memotivasi saya melakukan banyak riset dan pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan kuliah magister saya. Banyak yang ingin saya lakukan kedepannya untuk memberikan “kebermanfaatan” dalam pencegahan dan penanggulangan tuberkulosis.


Tulisan oleh Bella Wiranti-Karya terpilih dalam Kisah Kasih Submission

1 Comment


Bella Wiranti
Apr 28

Terima kasih atas ruang hebat yang telah diberikan. Melalui tulisan ini, saya berharap banyak orang akan banyak mendapatkan manfaat. Tuberkulosis bukan untuk ditakuti, hanya penting untuk diwaspadai. Salam sehat untuk semuanya👋

Like

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

HUBUNGI KAMI

Klinik JRC-PPTI, Jl. Sultan Iskandar Muda No.66A Lt 3, Kby. Lama Utara, Kec. Kby. Lama, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12240

Telp: +62 852-8229-8824

  • Instagram
  • twitter
  • facebook
  • Youtube
bottom of page