Tidak Hanya Kebal Terhadap Obat,Bakteri TBC Tahan Antibiotik Picu Kegagalan Pengobatan
Tuberkulosis (TBC) masih menjadi momok permasalahan kesehatan masyarakat di dunia. Menurut Global TB Report 2022 dari WHO, Indonesia berada pada posisi ke-2 dunia setelah India dengan estimasi 969.000 kasus TBC setiap tahun dan 28 ribu orang diantaranya mempunyai kondisi TBC resisten (kebal) obat. Di tahun 2022, dari estimasi tersebut, baru 75% orang dengan TBC jenis sensitif dan resisten obat teridentifikasi. Saat ini masih ada ratusan ribu orang dengan TBC yang belum ditemukan dan diobati sehingga dapat menularkan ke orang lain.
Penelitian pada akhir tahun 2022 peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health menemukan bentuk baru kekebalan dari Mycobacterium tuberculosis (MTB). Pada umumnya, bakteri TBC kebal terhadap antibiotik jenis tertentu sehingga pengobatan lini pertama harus diganti dengan lini kedua. Tetapi, penelitian dari Liu, Zhu, Dulberger, Stanley et al. (2022), menerangkan bahwa bakteri TBC bertahan dan terus berkembang pada tubuh seseorang bukan hanya karena obat tertentu tetapi dapat terjadi karena terinfeksi MTB dengan gen resR (i.e. resilience regulator).
Para peneliti melakukan analisis tes genomik terhadap 51.229 strain klinis MTB untuk mencari jenis baru resistensi antimikroba dan menemukan gen resR yang mempunyai fenotipe antibiotic resilience atau ketahanan antibiotik - berbeda dari MTB yang tidak sensitif/kebal pada antibiotik tertentu. Mutasi MTB dengan gen resR berkaitan variasi tingkat obat-obatan yang diberikan yaitu waktu antara dosis dan metabolisme obat. Orang-orang yang sakit TBC dan memiliki bakteri MTB dengan mutasi gen resR lebih banyak yang menunjukkan kegagalan pengobatan. Pada umumnya, MTB berhenti berkembang setelah terpapar antibiotik dan diantara jarak waktu sebelum meminum dosis selanjutnya, namun, bakteri MTB dengan gen resR mampu pulih dengan cepat dan kembali berkembang biak meskipun pasien mengonsumsi antibiotik. Lebih mencengangkan lagi, karakteristik ketahanan pada MTB dengan gen resR ini terjadi untuk setiap jenis antibiotik TBC yang diuji.
Kondisi seperti ini sangat mengkhawatirkan bagi seluruh pihak terutama Orang dengan TBC yang sedang menjalankan pengobatan karena siapa pun bisa terinfeksi TBC dengan jenis MTB dengan gen resR ini, sehingga, lebih sulit menuntaskan pengobatan. Selain itu, para pemangku kebijakan program TBC perlu memperhatikan bagaimana menyediakan pelayanan TBC yang lebih tepat berdasarkan genetik jenis penyakit TBC yang dialami pasien. Program penanggulangan TBC juga perlu memperkuat surveilans menggunakan whole genomic sequencing.
Peneliti dari Harvard ini menjelaskan bahwa saat ini resistensi antimikroba coba diatasi dengan menggabungkan berbagi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dalam suatu rejimen. Namun, data penelitian mereka mengindikasikan pentingnya untuk memperhatikan metabolisme obat yang digunakan dan seberapa sering dosis obat-obatan diberikan untuk meminimalisir pemulihan bakteri diantara waktu konsumsi OAT. Di sisi lain, hal yang bisa dilakukan oleh orang dengan TBC adalah dengan memperhatikan dosis, waktu, dan cara minum obat yang tepat. Sebaiknya orang dengan TBC meminum waktu yang sama dan tidak berubah-ubah. Misalnya, jika mengonsumsi obat di jam 8 pagi, maka, esok harinya harus tepat waktu di jam 8 pagi.
Comentários