top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

STPI dan POP TB Mendorong Perencanaan Penganggaran Kesehatan Responsif Gender Melalui Lokakarya

JAKARTA – Pada Selasa dan Rabu tanggal 26-27 Januari 2021 secara daring, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) bersama dengan Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (POP TB) Indonesia menyelenggarakan Lokakarya Pengarusutamaan Gender dalam Perencanaan Penganggaran (PUGPP) di Pemerintah Pusat dan Daerah. Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari dengan fasilitator Ibu Wasingatu Zakiyah. Turut dihadiri pula oleh masing-masing perwakilan dari 22 organisasi pasien serta mantan pasien TBC di Indonesia sebagai peserta lokakarya. Diawali dengan pembukaan dan sambutan dari Plt. Direktur Eksekutif STPI, Bapak Henry Diatmo kemudian dilanjutkan dengan orientasi beserta paparan materi seputar kebijakan dan anggaran TBC, pelaku penanggulangan TBC, peran lintas sektor, konsep dasar perencanaan penganggaran di Kabupaten/Kota, pengarusutamaan gender dalam perencanaan penganggaran daerah, dan sistem perencanaan pembangunan di Indonesia. Begitupun pada hari kedua, yang diawali dengan paparan bedah anggaran TBC perspektif gender, diskusi dan tanya jawab, kemudian ditutup dengan rencana tindak lanjut kegiatan.


Saya mewakili Stop TB Partnership Indonesia mengucapkan terima kasih kepada teman-teman organisasi pasien yang sudah bergabung. Kami akan terus meningkatkan kapasitas organisasi pasien. Salah satunya melalui peningkatan kapasitas pemahaman tentang pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan. Harapannya, dari pertemuan lokakarya ini kita bisa mendapatkan manfaat yang cukup baik terutama bagi pasien TBC di Indonesia.” tutur dr. Henry Diatmo, Plt. Direktur Eksekutif STPI saat membuka kegiatan kemudian dilanjutkan dengan paparan situasi TBC di Indonesia.


Pendekatan gender dalam kesehatan mempertimbangkan faktor sosial, budaya, dan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki yang berperan penting dalam menentukan status kesehatan dan kesejahteraan individu. Sebagai contoh, kematian ibu di Indonesia masih di angka 305/100.000 kelahiran hidup, pun kematian pria akibat tuberkulosis (TBC), kecelakaan, dan alkohol jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sedangkan pada konteks TBC, perbedaan gender berdampak pada angka kejadian TBC, baik pada proses penemuan kasus, diagnosis, maupun pengobatan. Pada proses penemuan kasus tuberkulosis, jumlah pasien perempuan lebih besar dibandingkan pasien laki-laki di usia 0-34 tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan rentang usia 35 - 65 tahun atau lebih yang menunjukkan bahwa jumlah pasien TBC perempuan berjumlah lebih kecil dari pasien TBC laki-laki. Selanjutnya pada proses diagnosis, pasien TBC laki-laki lebih besar dari pada pasien perempuan.

Indonesia merupakan negara dengan beban tuberkulosis (TBC) tertinggi kedua di dunia setelah India (WHO, Global TBC Report 2020). Setiap tahun diperkirakan 845.000 orang di Indonesia jatuh sakit akibat Mycobacterium Tuberculosis. Namun, hanya 543.874 insiden yang ternotifikasi ke Kementerian Kesehatan pada 2019. Pada tahun yang sama, pasien TBC resisten obat (TBC-RO) yang ternotifikasi adalah 9.875, pasien TBC anak sebanyak 63.111, dan pasien TBC/HIV mencapai 11.117. Sedangkan, jumlah pasien TBC di Indonesia yang meninggal dunia adalah 11.993 pasien di tahun 2019 (Subdirektorat Tuberkulosis/Subdit TBC, 20 Maret 2020). Berdasarkan data yang disampaikan oleh Subdit TBC pada pertemuan Koordinasi Awal Mitra Tuberkulosis (2021), angka cakupan pengobatan TBC menurun drastis dari 66.8% pada 2019 hingga 32.2% di tahun 2020 pada masa pandemi. Provinsi dengan estimasi beban TBC tertinggi yakni Jawa Barat hanya melaporkan cakupan pengobatan sebesar 50% dari estimasi jumlah orang sakit TBC. Angka keberhasilan pengobatan TBC yang terlaporkan di tahun 2019 adalah 87% dan di triwulan 1 tahun 2020 menjadi 70%.


Dari hasil penelitian Dewi Rohmah pada tahun 2013, pengobatan pada pasien TBC dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yang mengunjungi layanan kesehatan dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perempuan masih belum mendapatkan atau belum dapat mengakses pelayanan dengan optimal karena dari sisi penemuan kasus mereka lebih banyak daripada laki-laki, tetapi memasuki proses diagnosis dan pengobatan justru laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Hal ini disebabkan oleh stigma dan rendahnya akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber daya untuk kesehatan (Dewi Rohmah;2013)


Pembangunan kesehatan yang tidak responsif gender mulai dari perencanaan pelaksanaan dan pemantauan evaluasi akan berkontribusi pada peningkatan kasus TBC setiap tahunnya. Pasien TBC rerata juga sulit untuk melaksanakan pekerjaan sehingga keterbatasan dalam mencari nafkah, inilah yang akan berpengaruh pada nutrisi. Sia-sia pengobatan apabila nutrisi tidak terpenuhi. Hal ini akan dapat menghambat terwujudnya eliminasi TBC di 2030. Oleh karena itu, butuh perhatian semua sektor baik di tingkat pusat maupun di daerah guna memberikan perhatian lebih besar untuk pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan penganggaran khususnya terkait penyakit TBC.


Setelah kedua sesi lokakarya selesai, kegiatan berlanjut dengan pembahasan rilis media terkait kondisi TBC selama pandemi COVID-19 yang akan didistribusikan kepada jurnalis media. Kegiatan pembahasan lanjutan yang mengundang media nasional ini dilakukan dengan masing-masing perwakilan dari organisasi pasien TBC secara bergantian menceritakan kondisi layanan kesehatan dan keadaan pasien TBC selama masa pandemi COVID-19. Ternyata kondisi keseluruhan wilayah hampir seluruhnya seragam. Mulai dari layanan TBC yang berubah menjadi layanan COVID-19, permasalahan akses ke layanan kesehatan, perubahan mekanisme pengobatan, kesulitan melaksanakan penemuan kasus sehingga sangat sulit untuk menemukan pertambahan kasus TBC. Pemaparan ini pada akhirnya dikemas menjadi isi rilis pers bersamaan dengan sejumlah rekomendasi kepada pemangku kepentingan terkait.




Terdapat beberapa rekomendasi kepada pemangku kepentingan terkait untuk mencapai target eliminasi TBC tahun 2030. Jangan sampai pandemi Covid-19 menjadi penyebab tidak terpenuhinya hak-hak pasien lain seperti TBC yang terabaikan sehingga menjadi muncul masalah baru. Rekomendasi tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Pemerintah daerah untuk tetap memberikan alokasi anggaran yang memadai kepada pasien TBC.

  • Pendamping TBC harus dilibatkan dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran daerah.

  • Karena keberhasilan untuk kesembuhan TBC bukan hanya di pengobatan saja, maka perlu memfasilitasi transportasi dan nutrisi seperti anggaran untuk makanan tambahan dan lain-lain.

  • Perlu memperkuat semua OPD/lintas sektor dalam menanggulangi TBC sehingga urusan TBC tidak lagi hanya menjadi urusan Dinas Kesehatan.


2. DPRD

  • Memiliki komitmen untuk mengalokasikan anggaran untuk penyakit menular khususnya TBC.

  • Komisi D bidang Kesehatan dan dinas sosial perlu melakukan pembahasan khusus terkait TBC


3. Lembaga pemberi layanan (RS, Puskesmas, dll.), tidak melakukan diskriminasi terhadap pasien TBC. Peran Puskesmas diperlukan dalam melayani pasien TBC dengan melengkapi sarana prasarana dan tenaga kesehatan yang berkualitas.


4. Lembaga-lembaga non pemerintah untuk terus melakukan kerjasama dan melakukan advokasi untuk mengatasi masalah TBC agar kualitas layanannya tinggi.

  • Mengacu pada Covid-19, TBC memerlukan adanya Satuan Tugas Penanggulangan TBC.

  • Perlu menyediakan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan masing-masing


“Peta permasalahan dan hambatan para penyintas TBC di saat Covid-19 menjadi gambaran betapa pasien TBC mengalami kondisi sulit disaat pandemi. Lokakarya dan diskusi yang mempertemukan kami dengan organisasi penyintas TBC ini sangat berarti untuk mendorong perencanaan dan penganggaran mulai dari desa, kabupaten, propinsi sampai ke tingkat Nasional. Melalui pengetahuan ini,kami berharap tidak ada lagi penyintas TBC yang hak-haknya tak terpenuhi. Terima kasih kepada teman-teman Batam, Pekanbaru, Padang, Tangerang, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Gowa, NTT (Sikka) dan Papua yang sudah berbagi kisah pengalaman masing-masing kepada kami.” ucap Ibu Wasingatu Zakiyah selaku fasilitator kegiatan kepada tim STPI.

Akses materi lokakarya disini dan saksikan siaran ulangnya!

Sesi 1.


Sesi 2.


103 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page