top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Resensi Film: Seperti Seharusnya

Persembahan film dari Yayasan Jaringan Indonesia Positif (JIP)



Judul Film: Seperti Seharusnya

Sutradara: Aroe Ama

Produser: Poepe Sinaga dan Putri Lestari

Penulis Naskah: Aroe Ama

Pemain Film: Putri Ayudya, Yama Carlos, Abirama Putra Andresta, Delia Husein

Durasi: 26 menit 12 detik

Tanggal Rilis: 1 Desember 2022

Film "Seperti Seharusnya" bisa ditonton disini


Seperti Seharusnya merupakan film persembahan dari Yayasan Jaringan Indonesia Positif (JIP) untuk Hari AIDS Sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 Desember. JIP adalah jaringan orang dengan HIV yang diinisiasi oleh Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Orang dengan HIV (ODHIV) di tahun 2014 untuk menyuarakan kebutuhan melalui advokasi dan bekerja sama secara erat dengan sistem KDS ODHIV dalam kerangka Hak Asasi Manusia.


Film tersebut menceritakan tentang Reza (Yama Carlos) yang tertular HIV dari perempuan pekerja seks yang kemudian ia tularkan kepada istrinya, Sukma (Putri Ayudya). Mereka memiliki seorang anak bernama Reno (Abirama Putra Andresta) yang duduk di bangku Sekolah Dasar. Keseharian keluarga tersebut dipenuhi dengan umpatan stigma dan diskriminasi dari lingkungan tetangga, bahkan Reno yang negatif HIV tetap merasakan beban stigma dari teman sekolahnya akibat status orang tuanya adalah Orang dengan HIV (ODHIV).


Foto bersama para pemain dan kru film

Banyak perundungan yang dialami oleh Sukma dan Reza. Bahkan tidak ada satupun tetangganya yang mampir untuk berkunjung ke rumah mereka saat hari raya. Reza seorang pegawai juga selalu dianggap dapat menularkan HIV lewat alat makan. Reno yang masih kecil sering merasa sedih akibat cibiran yang terus dilontarkan oleh teman sekolahnya.


Naya (Delia Husein) guru di sekolah Reno yang berperan sebagai Konselor dan aktivis HIV selalu mengamati Reno yang di-bully oleh teman-temannya di sekolah. Ia mengetahui secara riil bagaimana stigma terhadap ODHIV masih terjadi di masyarakat. Naya bahkan pernah mendengar tetangga Sukma berbincang saat membeli sayuran di depan rumah Sukma, “Lagian bu, mana ada rumah sakit yang mau menerima mereka berdua”. Saat itu Naya turut merasakan ketidaknyamanan yang dialami Sukma.


Reno yang belum paham soal HIV beranggapan bahwa kedua orang tuanya akan segera meninggal dunia bertanya kepada gurunya Naya yang kemudian berusaha untuk mengenal keluarga Reno. Naya menjelaskan bahwa HIV tidak mudah menular seperti yang dipikirkan masyarakat dan memberikan motivasi kepada keluarga Reno untuk tetap semangat dan kuat. Tidak seharusnya mereka mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat hanya karena ODHIV. Naya meyakini bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk bahagia termasuk hak ODHIV untuk diterima di masyarakat sekitar. Melihat kondisi yang dialami keluarga Reno, Guru Reno tergerak untuk membantu dengan memberikan edukasi kepada masyarakat agar mereka dapat diterima tanpa stigma dan diskriminasi.

Pembukaan photo exhibition dari karya Anak dengan HIV sebelum pemutaran film

Film yang berdurasi sekitar 26 menit 12 detik tersebut sangat menarik untuk ditonton karena menggambarkan secara utuh kondisi sosial ODHIV yang sering dialami di Indonesia. Kepiawaian pemeran dalam memerankan aktingnya sangat patut diapresiasi. Akting karakter Sukma sangat cocok diperankan oleh Putri Ayudya sebagai istri yang sangat sabar dan sebagai penyandang HIV akibat tertular dari suaminya, Reza (Yama Carlos). Abirama Putra Andresta yang berperan sebagai Reno juga sangat ekspresif dalam menjalankan perannya sebagai anak yang terdampak akibat status orang tuanya yang ODHIV.


Dari film ini, kita dapat mencontoh Naya, seorang guru yang berani dan peduli terhadap sesama. Ia bisa langsung menegur masyarakat yang menstigma keluarga Reno dan memberikan informasi bahwa HIV tidak mudah menular serta mengajak warga sekitar untuk mencari tahu informasi akurat terkait HIV.


Fund rising yang akan didonasikan kepada Anak dengan HIV

Dibalik kepiawaian para pemain, feel film tersebut terkesan sedih di awal karena dibalut dengan efek yang cenderung gelap. Feel lainnya adalah terkesan tegang karena tokoh utama selalu mengalami bullying. Selain itu, film tersebut tergolong film pendek yang langsung menerangkan klimaks permasalahan cerita sehingga terkesan to the point dalam menjelaskan isu HIV.





Dari sisi substansi HIV, film tersebut hanya mengangkat permasalahan dari dua faktor terjadinya HIV saja, yaitu hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik secara bergantian. Perlu diketahui bahwa penularan HIV tidak hanya dari hal tersebut, karena virus ini juga dapat menular lewat transfusi darah dan dari ibu hamil ke janinnya.


Akhir kata film Seperti Seharusnya benar-benar menggambarkan faktor tertinggi penyebab HIV di Indonesia, yaitu melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Melalui film tersebut penonton bisa belajar banyak terkait penularan HIV dan berempati dengan pengalaman ODHIV. Tak hanya itu, hanya dengan menonton film tersebut kita jadi lebih paham bahwa ODHIV tidak seharusnya mengalami stigma dan diskriminasi karena menyandang status HIV positif.




124 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page