Pil Pahit TBC: Pemutusan Hubungan Kerja Akibat TBC
Pada tahun 2019, Irwan, seorang operator mesin di sebuah pabrik di Pulogadung, diminta untuk mundur dari pekerjaannya karena atasannya khawatir Irwan akan sering tidak masuk kerja setelah didiagnosis sakit TBC[1]. Hal serupa juga dialami Sugeng, seorang pekerja di perusahaan swasta yang sudah mengabdi selama lebih dari delapan tahun yang mendapatkan surat pemutusan hubungan kerja setelah didiagnosis sakit TBC[2]. Kisah yang dialami Irwan dan Sugeng, dua orang pekerja yang diberhentikan dari pekerjaannya setelah didiagnosis menderita TBC, merupakan fenomena laten yang belum banyak mendapatkan sorotan dalam dunia ketenagakerjaan.
Peristiwa pemutusan hubungan kerja seperti yang dialami Irwan dan Sugeng dapat membuat kasus-kasus TBC tidak teridentifikasi dan terus berkembang di tengah kehidupan masyarakat. Pada tahun 2017, Sekretaris DKK Solo, Purwanti, mengungkapkan bahwa masyarakat enggan untuk melakukan pemeriksaan TBC karena adanya kekhawatiran vonis penyakit TBC dapat berdampak pada nasib pekerjaan mereka,
“Dua bulan pertama pengidap TBC masih berpotensi menular. Jadi mereka harus diistirahatkan total. Tapi perusahaan tempat ia bekerja tidak mau tahu dan mereka akhirnya diberhentikan”, ujar Purwanti[3].
Adanya kekhawatiran atas dampak vonis penyakit TBC ini tergambar jelas melalui hasil skrining yang dilakukan di Solo. Pada tahun 2017, tim khusus penanggulangan dan pendampingan orang dengan TBC memeriksa sebanyak 1.665 warga. Dari jumlah tersebut, 723 warga dinyatakan positif TBC, di mana 12 orang di antaranya berstatus TB RO (Resisten Obat)[4].
Ancaman pemutusan hubungan kerja bagi orang yang menderita TBC memang menjadi tantangan tersendiri dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia karena tidak jarang orang dengan TBC yang kehilangan pekerjaan merupakan tulang punggung ekonomi keluarga. Berdasarkan studi yang dilakukan Fuady pada 282 orang dengan TBC SO (Sensitif Obat) dan 64 orang dengan TBC RO (Resisten Obat) di tiga wilayah geografis berbeda, urban (Jakarta), sub-urban (Depok), dan rural (Tasikmalaya), proporsi rumah tangga yang mengalami biaya katastropik akibat TBC SO (Sensitif Obat) adalah 36% (43% pada rumah tangga miskin dan 25% pada rumah tangga yang tidak miskin, sedangkan proporsi rumah tangga yang mengalami biaya katastropik akibat TB MDR adalah 83%. Biaya katastropik pada rumah tangga miskin disebabkan pasien TBC tersebut merupakan pencari nafkah utama di keluarga yang kehilangan pekerjaannya[5]. Biaya katastropik itu sendiri merupakan jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan penderita TBC untuk mengobati TBC sampai tuntas, yang melebihi batas maksimal pengeluaran per pendapatan keluarga per tahun selama menjalani masa perawatan. Batas maksimal pengeluaran misalnya 20% dari total pendapatan keluarga[6].
Pemerintah Indonesia, meskipun belum secara spesifik mengerucut pada TBC, pada dasarnya sudah mengakomodasi isu pemutusan hubungan kerja melalui pasal 153 ayat (1) huruf a dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang melarang pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus. Jika pemutusan kerja ini dilakukan, ayat (2) dalam pasal yang sama menjadi jaring pengaman bagi pekerja, dengan klausul pembatalan pemutusan hubungan kerja dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Selain perlindungan pemutusan hubungan kerja, dalam UU Ketenagakerjaan juga memuat hak pembayaran upah pekerja dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a yang mewajibkan pengusaha membayar upah jika pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, dan ayat (3) tentang besaran upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a. Besaran tersebut adalah sebagai berikut: 4 bulan pertama dibayar 100%, 4 bulan kedua dibayar 75%, 4 bulan ketiga dibayar 50%, dan bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
Kedua pasal dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut seyogyanya dapat menjadi bentuk perlindungan bagi pekerja yang menderita penyakit TBC agar tidak kehilangan pendapatan dan terhindar dari biaya katastropik yang merupakan dampak upaya pengobatan TBC. Meskipun demikian, kebijakan ini belum diterapkan secara optimal di dunia kerja karena belum ada pengawasan yang ketat serta mekanisme pengaduan yang efektif terkait pemutusan hubungan kerja akibat penyakit menular.
Praktek pemutusan hubungan kerja akibat TBC merupakan permasalahan yang dapat menghambat upaya-upaya berbagai pihak dalam penanggulangan TBC di Indonesia. Heny Akhmad, Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia, berpendapat bahwa,
“Praktek pemutusan hubungan kerja akibat seseorang menderita TBC ini perlu mendapatkan perhatian yang serius, baik dari sisi Pemerintah maupun sektor swasta. Dari sisi Pemerintah, perhatian ini dapat berbentuk lebih ketatnya pengawasan praktek pemutusan hubungan kerja akibat penyakit menular dan memaksimalkan pemanfaatan mekanisme pengaduan atau umpan balik tentang pemutusan hubungan kerja akibat penyakit menular. Selain itu, penting bagi sektor swasta juga bertanggung jawab dan menjamin kesehatan tenaga kerjanya”.
Adanya perlindungan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja dengan TBC yang dilaksanakan secara optimal tidak hanya dapat melindungi tenaga kerja dari pemutusan hubungan kerja jika didiagnosis menderita TBC dan biaya katastropik yang ditimbulkan dari penyakit tersebut, tetapi juga bahaya laten dari kekhawatiran atas TBC yang dapat membuat TBC berkembang di tengah kehidupan masyarakat. Upaya optimal dari perlindungan pemutusan hubungan kerja akibat TBC tersebut diharapkan dapat menjadi kontribusi yang signifikan dalam upaya mencapai target eliminasi TBC di Indonesia tahun 2030.
Referensi
[1] Alfiyah, Nur. 2019. Terjepit Ekonomi Akibat Tuberkulosis. Koran Tempo. Edisi Rabu, 24 April 2019 [2] POP TB Indonesia [@poptb.indonesia]. (2020, 29 September). Jangan Pecat Karyawan Karena TBC [Konten Instagram]. Diakses melalui https://www.instagram.com/p/CFrB6bAAabR/?utm_source=ig_web_copy_link, 30 September 2020. [3] Septianing, W. Indah. 2017. Bak Fenomea Gunung Es, DKK Solo Sebut Kasus TBC Baru Terungkap 10%. Solopos.com. Diakses melalui https://www.solopos.com/bak-fenomena-gunung-es-dkk-solo-sebut-kasus-tbc-baru-terungkap-10-783534 [4] Bram, Damianus. 2017. 1.506 warga Positif Mengidap TBC. Radar Solo. Diakses melalui https://radarsolo.jawapos.com/read/2019/01/25/115857/1506-warga-positif-mengidap-tbc [5] Fuady, A., Houweling, T. A. J., Mansyur, dan Richardus, J. H. 2018. Catasthropic total costs in tuberculosis-affected households and their determinants since Indonesia’s implementation of universal health coverage. Infectious Diseases of Poverty, 8(1). [6] WHO. 2017. Tuberculosis Patient Cost Surveys: a handbook. World Health Organization.
---
#KebutTBC (akronim dari Kebijakan Untuk TBC) adalah kampanye digital dengan konsep menjembatani kegelisahan yang muncul di masyarakat terkait dengan kebijakan TBC atau rencana kebijakan tentang TBC yang telah menjadi komitmen pemerintah. Konten dari kampanye #KebutTBC tidak berupaya menghadirkan penjelasan atas suatu kebijakan secara utuh, melainkan menyoroti fragmen dari kebijakan tertentu yang dapat menjawab kegelisahan-kegelisahan yang muncul terkait TBC. Selain itu, kampanye #KebutTBC juga dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas adanya rencana kebijakan atau kebijakan terbaru tentang TBC yang diterbitkan pemerintah.
Comments