Perjuangan Kader TBC: Memastikan Orang dengan TBC dan Disabilitas Mengakses Pelayanan Kesehatan
STPI mengupayakan penguatan komunitas di Pulau Kangean, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Sumenep, melalui intervensi dukungan psikososial bagi pasien TBC. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memfasilitasi pasien TBC agar bisa mendapatkan dukungan psikososial dalam menjalani proses pengobatan. Bentuk kegiatan tersebut dimulai dengan melakukan pendekatan psikologis seperti bertanya terkait perasaannya selama melakukan pengobatan kepada pasien TBC yang sering kali merasa cemas, minder, malu, takut terisolir apabila ada yang mengetahui tentang penyakitnya dan mengalami depresi.
Nurhasanah adalah seorang Penanggung Jawab (PJ) Program TBC di Puskesmas Arjasa, ia tak hanya berperan sebagai PJ program TBC, namun juga sebagai perawat di Puskesmas tersebut. Dalam sehari-harinya bekerja, Ia sering kali berinteraksi dengan pasien TBC yang mengambil obat dan melakukan investigasi kontak ke rumah orang dengan TBC. Dalam menjalankan tugasnya, salah satu tantangan Nurhasanah adalah memiliki pasien dampingan dengan kondisi tunawicara. Oleh sebab itu, Nurhasanah menghadapi tantangan dalam berkomunikasi dengan Bapak S yang berusia 72 tahun khususnya untuk menyampaikan edukasi dan motivasi berobat.
Bapak S terdiagnosis TBC di pertengahan tahun 2022 karena mengalami demam dan batuk yang tak kunjung sembuh. Awalnya Ia dirawat di Puskesmas dan diperiksa dahaknya oleh petugas di Puskesmas. Tahap pertama pengobatan tidak ada masalah dalam minum obat, namun beberapa hari hingga seterusnya Bapak S enggan minum obat kembali. Salah satu penyebabnya adalah Nurhasanah kesulitan berkomunikasi dengannya karena Bapak S bisu, namun dugaannya adalah karena masih belum paham bahwa TBC merupakan penyakit yang berbahaya jika tidak diobati dengan tuntas.
Setelah Nurhasanah melakukan kunjungan dan pemantauan ke rumahnya, ia menyimpulkan bahwa keluarga pasien tidak peduli dengan kesehatan Bapak S karena beliau dianggap keras kepala dan sulit diajak bicara, sehingga keluarganya lepas tangan dan membiarkannya untuk tidak minum obat. “Awalnya Ia mau minum obat, tapi setelah itu tidak ada keluarganya yang mengambil obat lagi. Setelah saya tanya, keluarganya bersikap tak acuh dengan kondisinya karena Ia penyandang disabilitas” tambah Nurhasanah.
Selain Nurhasanah, kader TBC yang bernama Bapak Rusli pun ikut berperan dalam melakukan dampingan kepada Bapak S. Menurut keterangannya, keluarga Bapak S tidak merespon dengan baik terkait bahaya TBC, namun, Bapak Rusli berusaha untuk terus memberikan pemahaman terkait bahaya TBC yang apabila tidak meminum obat dengan tuntas maka akan mengalami resisten dan pengobatan bisa menjadi panjang bahkan bisa mengalami kematian.
“Saya berusaha merayu, bahkan komunikasi langsung sama keluarganya. Sekalipun tidak ada respon yang baik dari keluarganya, saya tetap berupaya dan akhirnya Bapak S mau minum obat lagi” ujar Rusli. Namun sayangnya, saat Rusli mengunjungi kembali setelah 4 hari ternyata Bapak S tidak ingin minum obat lagi. Nurhasanah dan Rusli terus berupaya dengan mendatangi rumah Bapak S untuk melakukan pendekatan agar Bapak S berobat kembali, namun, beliau tetap bersikeras untuk tidak melanjutkan pengobatannya.
Tiga bulan berlalu setelah September, Bapak S kemudian dibawa oleh keluarganya ke Puskesmas karena kondisinya semakin memburuk, batuknya tidak kunjung sembuh, demam, lemas dan berat badan terus menurun yang kemudian membuat Ia harus dirawat di Puskesmas. Keadaan tersebut membuat keluarganya semakin takut dan khawatir, akhirnya Bapak S bisa tertolong dan keluargnya mendukung untuk minum obat rutin. Ia mau minum obat kembali dan menjalani pengobatan hingga saat ini.
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada umumnya TBC menyerang paru-paru, namun dapat juga menyerang organ tubuh lainnya seperti otak, lambung, usus, dll. Jenis TBC sendiri dibagi menjadi dua yaitu TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO). Pengobatan TBC SO dilakukan selama minimal 6 bulan, sementara TBC RO dilakukan selama 24 bulan.
Penyebab terjadinya TBC RO adalah salah satunya putus berobat. Putus berobat dapat dialami oleh pasien TBC yang kemungkinan tidak adanya dukungan dari orang terdekat seperti keluarga. Hal terburuk yang bisa dialami apabila TBC-RO tidak diobati maka akan mengalami kematian. Dukungan dari semua pihak, termasuk keluarga sangat penting karena menjalani pengobatan TBC tidaklah mudah.
Selain efek samping seperti sakit kepala dan gatal-gatal pada kulit, terdapat juga stigma dan diskriminasi yang tak jarang dialami oleh pasien TBC. Dampak yang bisa dialami adalah pasien TBC enggan melanjutkan pengobatan atau bahkan hingga putus berobat. Maka dari itu, dukungan keluarga dan masyarakat sangat penting agar pelayanan kesehatan dapat diakses oleh siapa saja termasuk mereka yang disabilitas.
Comentários