Pekerja Lebih Berisiko Tertular TBC, Kok Bisa?
Menyambut bulan Mei yang diartikan sebagai bulannya para buruh, tanggal 1 Mei ini ada hari besar yaitu Hari Buruh. Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa pekerja lebih berisiko tertular Tuberkulosis (TBC). Lantas, mengapa demikian? Padahal kan kalau kita perhatikan, pekerja terutama orang kantoran, sangat jarang keluar ruangan atau bahkan petani yang bekerja di ruang terbuka nan asrinya udara yang dihirup di persawahan sepertinya mustahil tertular TBC. Secara teori saja udara terbuka bisa menurunkan risiko penularan TBC, kok bisa yang paling banyak terkena TBC adalah para pekerja?
Berdasarkan data dari Kemenkes RI di tahun 2022 bahwa usia yang paling banyak terkena TBC adalah 15-54 tahun. Rentang tersebut tergolong usia produktif yang sedang semangat semangatnya bekerja dari berbagai bidang dan sektor. Sementara dari jenis pekerjaannya sendiri, buruh adalah kelompok rentan yang paling banyak mengalami TBC Sensitif Obat (SO) dengan jumlah sebanyak 54.800 orang, kemudian disusul oleh petani 51.900 orang dan wiraswasta 44.200 orang. Angka yang berbeda pada jenis TBC Resisten Obat (RO) bahwa wiraswasta menduduki peringkat paling banyak yaitu 751 orang, kemudian disusul oleh buruh 635 orang dan pegawai swasta BUMN atau BUMD 564 orang.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri bernama Mycobacterium tuberculosis yang menular lewat udara melalui droplet pasien TBC. TBC bisa menyerang semua organ tubuh kecuali rambut dan kuku. Berdasarkan jenisnya, TBC dibedakan menjadi TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO). TBC SO adalah salah satu jenis TBC yang menyerang paru-paru dengan lama pengobatan minimal 6 bulan. Sementara TBC RO adalah jenis TBC yang telah resisten/kebal terhadap satu atau lebih jenis obat dari pengobatan di lini pertama.
Apabila dilihat berdasarkan angka keberhasilan pengobatannya, TBC SO berada di angka 85% dengan tingkat keberhasilan tertinggi ada pada tenaga profesional medis 79%, tenaga profesional non medis 78% dan PNS 73%. TBC RO masih tergolong kecil karena angka keberhasilan pengobatannya secara umum hanya 55% dengan keberhasilan tertinggi pada profesional medis 75%, professional non medis 67%, guru atau dosen 66% dan diikuti profesi lain.
Beberapa penelitian menemukan bahwa infeksi TBC dapat terjadi pada pekerja karena adanya faktor perilaku. Para pekerja lebih tinggi mobilisasinya dan lebih banyak berkontak sosial secara langsung dengan orang lain serta menghabiskan waktu lama di luar dibandingkan di rumah, termasuk juga para pekerja yang bekerja di pertambangan yang sangat tinggi risiko terkena TBC (Nhamoyebonde & Leslie, 2014). Laki-laki pun menjadi kelompok rentan terkena TBC dan paling banyak dialami oleh para pekerja, ditambah laki-laki lebih banyak perokok sehingga membuat sistem kekebalan tubuhnya rendah dan mudah terserang penyakit. Padahal bisa jadi mereka adalah tulang punggung keluarga yang harus membiayai kebutuhan pokok keluarganya.
Minimnya edukasi dan tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan kepada para pekerja juga menjadi faktor pendukung terjadinya TBC (Humayun dkk, 2022). Kurangnya kolaborasi antar pelayanan kesehatan dengan perusahaan menjadikan kurangnya informasi seputar kesehatan terutama tentang TBC di lingkungan pekerja. Hal ini berlaku juga pada para petani yang notabenenya bekerja sendiri, sehingga belum terjangkau oleh tenaga kesehatan untuk mendapatkan informasi seputar TBC.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah sudah menerbitkan Permenaker No.13 tahun 2022 tentang Penanggulangan TBC di Tempat Kerja. Dalam permenaker tersebut telah diatur hak dan kewajiban perusahaan maupun pekerja/buruh untuk saling mendukung satu sama lain. Sudah diatur pada pasal 4 bahwa perusahaan berhak memberikan edukasi seputar TBC kepada para karyawannya. Begitupun pada Pasal 7 Permenkes No.67 tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC yang didalamnya terdapat upaya promosi kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait TBC sebagai wujud pemberdayaan masyarakat. Oleh sebab itu, edukasi kepada para pekerja sangat penting untuk menekan penularan TBC di lingkungan pekerja.
Kemenaker sendiri sudah melakukan kegiatan sosialisasi mengenai penerapan permenaker tersebut. Sudah ada sosialisasi pengendalian TBC di lingkungan kerja pada 3 provinsi yaitu Banten (1 perusahaan), NTB (53 perusahaan), dan DKI Jakarta (15 perusahaan). Contoh dari perusahaan yang menerapkan permenaker tersebut adalah program “Free TB in Workplace” yang diinisiasi oleh Otsuka dan bekerjasama dengan Kemenaker untuk mengurangi stigma TBC di tempat kerja. Selain itu, ada beberapa perusahaan yang sudah melakukan skrining TBC terhadap pekerjanya. Meskipun umur permenaker tersebut masih tergolong muda, harapannya semua perusahaan dapat tersosialisasikan mengenai permenaker ini agar bisa mendukung eliminasi TBC 2030.
Comments