top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Mengupas Tuntas Tuberkulosis, HIV dan Stigmanya – Apa yang Bisa Kita Lakukan?




Keterkaitan TBC dan HIV/AIDS


Disaat pandemi COVID-19 melanda Indonesia, nyatanya negara kita masih darurat tuberkulosis atau yang biasa kita sebut dengan TBC. Menurut Global TB Report 2019 yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada bulan Oktober lalu, Indonesia menduduki peringkat kedua dengan jumlah kasus tertinggi TBC di dunia setelah India. TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang menyebar di udara melalui percikan dahak pasien TBC dan kemudian terhirup oleh orang lain.


Orang yang terinfeksi bakteri tuberkulosis (TBC) memiliki risiko 5-15% untuk jatuh sakit dengan gejala aktif TBC. Sedangkan orang-orang dengan sistem imun imunokompromais, seperti orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan lain sebagainya memiliki risiko lebih tinggi untuk sakit TBC (Tuberculosis: WHO [c1] Fact Sheets no. 104, 2020). ODHA memiliki beban 19 kali lebih besar untuk sakit TBC dibandingkan orang tanpa HIV ketika terinfeksi bakteri TBC. Penyakit ini merupakan infeksi penyerta yang sering dihadapi ODHA (31,8%), sekitar 60% ODHA yang terinfeksi bakteri TBC akan jatuh sakit dengan gejala TBC aktif.


Komorbiditas TBC dan HIV/AIDS menjadi tantangan serius dalam pengendalian kedua penyakit ini karena masing-masing penyakit dapat memperburuk kondisi penyakit lainnya (Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan RI (2020).


Begitupun yang disampaikan oleh Ibu Meirinda Sebayang, Ketua Sekretariat Nasional Jaringan Indonesia Positif (JIP) dalam sesi bincang eksklusif TALKS: Tanya Apa Aja Lewat Kita Spesial yang ditayangkan dalam bentuk podcast dari Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dengan tajuk Kupas Tuntas TBC, HIV dan Stigmanya. Beliau mengatakan bahwa penyakit TBC dan HIV itu berhubungan erat, dimana TBC adalah infeksi oportunistik yang menyebabkan rentannya kematian pada ODHA dan telah dibuktikan pada riset-riset global.


“TBC adalah silent-killer, infeksi oportunistik pembunuh pertama ODHA pada umumnya karena dampak TBC pada ODHA dengan imunitas yang rendah memang luar biasa. … dia (ODHA dengan TBC) harus terus memperkuat sistem imunnya di sisi lain juga harus melawan bakteri TBC.” terang Bu Mei.


Mengatasi kedua penyakit menular ini membutuhkan perhatian khusus terhadap kebutuhan pasien HIV dengan TBC. Meskipun TBC dijamin kesembuhannya, tetapi kedua penyakit ini membutuhkan durasi minum obat dengan jangka waktu panjang sehingga sangat mempengaruhi kehidupan keluarga pasien, terutama akibat efek samping obat, dampak psikososial penyakitnya dan keadaan ekonomi pasien selama masa perawatan.


Menurut Ibu Meirinda, seorang penyintas TBC MDR sejak tahun 2006-2009, pasien TBC harus menjadi pasien yang berdaya untuk mengutamakan keamanan dan kenyamanannya dalam menjalani pengobatan. Jangka pengobatan kedua penyakit yang panjang membutuhkan perencanaan pengobatan, komunikasi dengan petugas kesehatan, dan dukungan psikososial di rumah terutama di awal pengobatannya. Diperlukan support system dari keluarga atau orang terdekat misalkan dari komunitas penyintas. Selain itu, layanan TBC dan HIV harus bekerjasama agar proses pengobatan mempermudah pemenuhan kebutuhan pasien dan kontak eratnya. Misalnya, saat ini, JIP sangat mendukung adanya Terapi Pencegahan TBC (TPT) untuk ODHA yang masih belum mengetahui status TBC-nya untuk mencegah ODHA jatuh sakit akibat TBC.


“Sangat disarankan bagi pasien HIV yang baru mengetahui status penyakitnya untuk memeriksakan TBC secara langsung, karena ditakutkan ketika diketahui status HIV-nya ternyata juga ada kuman TBC. Kalau imun tubuh ODHA sudah di titik sangat rendah maka sangat besar kemungkinan untuk TBC muncul.” menurut Bu Mei.


Menghadapi TBC dan HIV di Masa Pandemi COVID-19


Selama pandemi COVID-19 ini, suatu kondisi yang sudah memiliki tantangan menjadi lebih buruk, termasuk pengobatan TBC dan HIV. Orang dengan HIV/AIDS sudah memiliki stigma diri sendiri, seperti keraguan untuk memeriksakan diri ke layanan kesehatan karena takut statusnya diketahui oleh orang lain. Kondisi pandemi COVID-19 mempersulit akses ODHA karena pengalihan fungsi layanan HIV menjadi pusat pelayanan COVID-19. Adapula justru petugas kesehatannya yang malah terkena COVID-19 sehingga pasien menjadi takut ke layanan. Kejadian kekosongan stok obat ARV yang juga sempat terjadi pun menjadi tantangan tersendiri bagi pasien HIV.


Sudah terdapat upaya dari Pemerintah seperti adanya Protokol Pengobatan TBC pada Masa Pandemi tetapi informasi tersebut perlu dipastikan sampai ke masyarakat. Inilah yang menjadi peran dari LSM, organisasi atau komunitas sebagai penjembatan komunikasi antara layanan dan masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan di masa pandemi ini antara lain dengan meningkatkan kualitas pelayanan agar health-seeking behavior pasien meningkat. Mencari alternatif agar pasien tetap mendapatkan pengobatan secara rutin, patuh dan dekat dengan layanan misalkan dengan memanfaatkan telemedicine. Selain itu diperlukan upaya meningkatkan promosi kesehatan HIV dan TBC bersama dengan gencarnya promosi COVID-19. Misalnya, mempromosikan upaya pencegahan TBC pada ODHA melalui Terapi Pencegahan Tutberkulosis (TPT) dan memastikan pengobatan TBC dan HIV selalu tersedia di layanan.


Menurut Ibu Meirinda, khususnya di masa sulit ini, sikap untuk bertahan hidup harus ada pada setiap pasien agar mampu melangkah demi langkah untuk mencapai kesembuhan dengan tetap gigih dan konsisten terhadap pengobatan dengan semangat survivor. Sebab kita tidak bisa melakukan hal apapun untuk mencapai impian di masa depan kalau kita tidak sehat.


Mobilisasi Komunitas dan Stigma Terhadap Pasien TBC dan HIV


Pasien TBC dan HIV kental dengan stigma, termasuk stigma dari diri sendiri, orang terdekat, masyarakat, lingkungan, tenaga kesehatan, kebijakan ataupun peraturan. Tentu terdapat perbedaan penanggulangan stigma di setiap tingkatan. Stigma terhadap diri sendiri dapat diatasi dengan memperkuat diri dengan informasi tentang apa yang terjadi dalam tubuh serta pengobatan sehingga pasien memiliki kepercayaan diri bahwa mereka akan baik-baik saja selama mereka mengikuti proses pengobatan secara tepat waktu, tepat dosis dan teratur sesuai pesan dokter. Adapula stigma yang perlu diatasi dengan advokasi pegiat aktivis TBC seperti stigma yang melekat pada kebijakan dan kehidupan sosial di lingkungan pasien.


Untuk menghilangkan stigma terhadap orang dengan TBC dan HIV/AIDS, diperlukan keseimbangan dalam menyuarakan kebutuhan pasien dan perlindungan bagi petugas kesehatan yang mengobati mereka. Misalnya, dengan memberikan jaminan alat pelindung diri bagi pasien, petugas kesehatan dan juga petugas dari komunitas agar saling terlindungi dari penyakit tersebut, khususnya di masa pandemi.


Ibu Meirinda Sebayang juga terlibat dalam aktivisme global untuk TBC dan HIV/AIDS, ia menilai pelibatan penyintas TBC pada tataran yang sesederhana mungkin adalah kekuatan yang besar untuk mengatasi stigma yang dihadapi baik dari diri pasien maupun lingkungannya. Saat ini sudah terdapat organisasi penyintas TBC seperti POP TB Indonesia, PETA TB RO dan organisasi pasien serta penyintas TBC tingkat lokal lainnya di Indonesia.


“Penyintas TBC sesederhana bagaimanapun tahu persis bagaimana rasanya ketika mengidap TBC, tahu persis bagaimana pengobatannya, sikap dari orang sekitar, rasanya kehilangan pekerjaan, bagaimana penyakitnya berdampak pada hubungan sosial di keluarga maupun lingkungan sekitar. Informasi dari penyintas itu merupakan informasi fakta yang valid.” tegas Ibu Mei


Menurutnya, modal terbesar dalam sebuah pergerakan adalah mobilisasi komunitas untuk ikut ambil andil dalam menentukan arah kebijakan, mempertemukan kedua sisi dari efisiensi biaya pemerintah dan juga manfaat yang sebesar-besarnya untuk penerima manfaat. Seluruh elemen harus menemukan solusi ini bersama karena fokus pemerintah tidak hanya TBC saja tetapi juga terdapat penyakit lainnya yang harus diselesaikan.


Dalam sesi ini Ibu Mei berharap untuk pemerintah agar mempertegas arah pengendalian kesehatan, khususnya untuk TBC yang sudah menjadi prioritas negara, tidak hanya seremonial komitmen saja tetapi juga langkah-langkah selanjutnya yang harus diambil untuk pengendalian penyakit ini bagi kelompok masyarakat yang rentan terhadap TBC. Kedua, bagaimana kita bisa menguatkan mobilisasi komunitas penyintas TBC dalam mempengaruhi kebijakan untuk mentransformasi situasi epidemi TBC. Ketiga, untuk komunitas pegiat TBC untuk melihat sisi kepentingan penerima manfaat dan berkolaborasi dengan komunitas pegiat HIV demi mencapai tujuan bersama ‘Kehidupan Sehat dan Sejahtera’.


 

Jaringan Indonesia Positif (JIP) diinisiasi pada tahun 2014 melalui Deklarasi Pajajaran sebagai organisasi yang merepresentasikan kebutuhan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia. Kemudian melalui Kongres Nasional I pada tahun 2015 bersama dengan perwakilan ODHA dari 26 provinsi di Indonesia sehingga disepakati visi untuk terwujudnya ODHA yang sehat, setara dan berkualitas serta misi untuk mewujudkan kesetaraan ODHA dengan berafiliasi pada system dukungan sebaya bagi ODHA dengan menerapkan prinsip GIPA (Greater Involvement of People Living with HIV/AIDS) dimana pelibatan bermakna ODHA di setiap lini dan penanggulangan/respon di tingkat nasional.

166 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page