Kemenkes Luncurkan Inovasi Pembiayaan TBC untuk Memperkuat Penanganan di Faskes Tingkat Pertama
Kami, 27 Juli 2023 - Kementerian Kesehatan RI luncurkan Inovasi Pembiayaan Program Tuberkulosis (TBC) secara dalam jaringan (daring) di tingkat nasional guna memperluas akses layanan, meningkatkan efisiensi pembiayaan dan efektivitas layanan TBC. Inovasi pembiayaan ini muncul untuk mengatasi tingginya kasus rujukan pasien TBC tanpa komplikasi dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke rumah sakit (RS).
Di tahun 2023 terdapat 39% kasus TBC dirujuk dan 97% diantaranya adalah kasus TBC non komplikasi yang seharusnya dapat ditangani di FKTP seperti Puskesmas, klinik, dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) untuk menghemat anggaran kesehatan dan memaksimalkan fungsi layanan primer. Lebih lanjut, rujukan yang paling banyak berasal dari FKTP swasta (74%) yang menunjukkan bahwa masih rendahnya kepatuhan layanan tersebut dalam menerapkan tata laksana pelayanan TBC. Banyaknya kasus rujukan tanpa komplikasi akan menjadi beban pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di level Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) seperti Rumah Sakit, sehingga diperlukan inovasi pembiayaan untuk memberikan insentif kepada FKTP menangani TBC tanpa komplikasi.
Inovasi pembiayaan ini dirancang untuk mendorong shifting pelayanan TBC melalui pengubahan mekanisme pembayaran TBC di FKTP. Model pembiayaan baru ini diharapkan dapat mengubah perilaku pelayanan TBC khususnya untuk menguatkan peran dan fungsi FKTP memberikan pelayanan TBC sesuai standar dan komprehensif. Peran FKTP yang diharapkan adalah menemukan dan melaporkan pasien TBC, mengobati pasien TBC hingga sembuh, dan mengurangi rujukan pasien TBC Sensitif Obat (SO) tanpa komplikasi. Luaran yang diharapkan adalah meningkatkan notifikasi kasus dan ketuntasan pengobatan TBC, serta menurunkan angka rujukan TBC non-komplikasi FKRTL.
Inovasi model pembiayaan ini memiliki beberapa hal perubahan dari pembiayaan sebelumnya. Awalnya pembayaran layanan TBC didasarkan non-kapitasi atau pembayaran yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan kepada Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Puskesmas atas pelayanan rawat inap dan pelayanan lain yang dibayarkan berdasarkan pengajuan klaim dari Puskesmas. Kemudian model non kapitasi akan diubah menjadi sistem insentif dengan 3 (tiga) mekanisme pembiayaan. Tentunya dalam mekanisme pembiayaan insentif ini memiliki persyaratan yaitu FKTP pemerintah/swasta yang menjadi mitra BPJS Kesehatan, melakukan diagnosis dan pengobatan sesuai standar Kemenkes RI, serta pasien TBC SO tanpa komplikasi berusia lebih dari 5 tahun dan peserta aktif JKN.
Model inovasi pembiayaan ini baru mulai belum diterapkan di 6 semua kota/kabupaten di Indonesia. Implementasi inovasi ini ada di 6 kota yang terdiri dari Medan, Jakarta Utara, Kota Bogor, Denpasar, Semarang dan Surabaya. Pemilihan area tersebut didasarkan atas tingginya insiden TBC (>1000 kasus per tahun), cakupan JKN yang tinggi dan jumlah rujukan vertikal terkait TBC tinggi, banyaknya fasilitas swasta yang bekerjasama dengan BPJS -Kesehatan, jejaring layanan TBC berjalan cukup baik, dan memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang mendukung.
Sementara kriteria inklusi fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) adalah FKTP yang bekerjasama dengan BPJS-K dan tergabung dalam jejaring layanan District Public Private Mix (DPPM). Total sasaran FKTP yang dilakukan uji coba sebanyak 729 dengan 224 Puskesmas, 53 klinik pemerintah, 392 klinik swasta dan 60 Dokter Praktik Mandiri (DPM). Durasi pelaksanaan uji coba ini selama 6 bulan sejak pasien ditemukan mulai dari Agustus 2023 hingga Maret 2024.
Pembayaran insentif akan diberikan sesuai dengan tahapan yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu insentif diagnosis, insentif pengobatan tahap awal, dan insentif pengobatan tahap lanjutan. Masing-masing fase pemberian insentif memiliki persyaratan klaim tersendiri, yaitu:
Insentif diagnosis (dibayarkan pada pemeriksaan x-ray): apabila hasil tes dahak dengan mesin TCM negatif kemudian melakukan tes tambahan berupa rontgen dada.
Insentif pengobatan tahap awal (dibayarkan pada akhir fase intensif): pemeriksaan hasil mikroskopis bulan ke-2 pasien dan melaporkan kasus di SITB (Sistem Informasi TBC).
Insentif pengobatan tahap lanjutan (dibayarkan pada akhir pengobatan): pemeriksaan hasil mikroskopis bulan ke-5 dan akhir pengobatan serta melaporkan hasil pengobatan di SITB dan adanya pernyataan dari pasien bahwa sudah menyelesaikan pengobatan sampai tuntas.
Comments