Diskusi Pemerintah, DPR RI, Mitra Pembangunan, dan Komunitas: Bagaimana Indonesia Menghadapi COVID19
Jakarta – Stop TB Partnership Indonesia, Global TB Caucus, dan USAID Indonesia dengan partisipasi lintas sektor berdiskusi dalam kegiatan webinar yang mengulas berbagai aspek dalam upaya menghadapi COVID-19 dan TBC bersama pemerintah, mitra pembangunan, dan komunitas, Jumat, 8 Mei 2020. Kegiatan webinar ini dibuka oleh Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia, Heny Akhmad dengan menyampaikan latar belakang hal yang menyadari diadakannya webinar pelaksanaan layanan TBC di masa pandemi.
“Indonesia sedang menghadapi wabah COVID-19 yang ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO. Pada saat bersamaan, TBC juga sudah ditetapkan sebagai pandemi di Indonesia. Bagaimana layanan TBC dapat berjalan dengan situasi pandemi COVID-19? Karena keduanya sangat penting dan dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi kita luar biasa,” ungkapnya.
Indonesia masih menduduki jumlah pasien tertinggi peringkat ketiga dunia setelah India dan Cina (WHO, 2019), sedangkan untuk COVID-19, Indonesia menduduki peringkat ke-31 dunia dan peringkat ke-12 di Asia (JHU, 2020). Ketersediaan pelayanan kesehatan primer maupun rujukan program TBC sebagian besar telah dialihkan untuk upaya mengatasi pandemi COVID-19. Hal tersebut telah mempengaruhi ketersediaan layanan TBC bagi pasien, disatu sisi hal ini sangat bisa dipahami tetapi di sisi lain hak dan kebutuhan pasien TBC tetap harus dipenuhi. Tidak hanya itu, ancaman pandemi ini juga memberikan dampak secara sosial dan ekonomi seperti pekerjaan dan pendapatan berkurang, sekolah ditutup, dan pelayanan kesehatan yang terbatas. Sehingga dampak COVID-19 menyadarkan kita bahwa upaya pencegahan dan pengendalian penyakit perlu dipahami juga oleh pemangku kebijakan Negara.
Dalam kegiatan ini, dr. Moh. Bey Sonata, Project Management Specialist USAID Indonesia menyampaikan bahwa strategi untuk mencapai target eliminasi TBC tahun 2030 perlu ditinjau kembali karena kondisi COVID-19 yang berdampak pada layanan dan penemuan kasus TBC. Bahkan diestimasikan bahwa layanan TBC akan kembali ke 5-6 tahun sebelumnya dimana penemuan kasus masih sangat rendah dan angka penularan di masyarakat sangat tinggi. Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh Stop TB Partnership (global) bersama Imperial College, Avenir Health dan Universitas John Hopkins dengan dukungan USAID mengindikasikan jumlah orang dengan TBC pada 2025 akan bertambah 6.3 juta dan kematian akibat TBC bertambah 1.4 juta di dunia akibat lockdown. Padahal menurut Pak Bey, hal yang paling mendukung penurunan insiden TBC adalah penemuan kasus sehingga penularan di masyarakat dapat dicegah dan dihentikan. Beliau juga berharap semoga DPR selalu mengawal komitmen politis pencapaian target eliminasi TBC 2030.
Prof. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH selaku Chief of Party USAID Health Financing Activity dalam kesempatannya menyampaikan bahwa[c1] keberhasilan respon penanganan COVID-19 sangat bergantung pada kedisiplinan masyarakat dan kekuatan penegak hukum. Karena pandemi COVID-19 diprediksi akan memakan waktu cukup lama, biaya yang dihabiskan untuk penanganannya juga akan banyak. Jika pandemi ini terus menerus berlanjut, dikhawatirkan anggaran alokasi untuk TBC juga dapat terpakai. Karena pendanaan mengikuti pola persebaran penyakit, diharapkan anggaran TBC harus lebih diprioritaskan karena terdapat 3.165 kasus per satu juta penduduk untuk TBC sedangkan kasus COVID-19 masih 143 kasus per satu juta penduduk. [c2] Maka dari itu, dr. Slamet Basir, MHP selaku Ketua Country Coordinating Mechanism (CCM) Global Fund AIDS, TB, dan Malaria merekomendasikan bahwa Pemerintah perlu menyediakan anggaran yang cukup untuk memerangi TBC juga AIDS dan Malaria yang masih memerlukan perhatian lebih di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan mengingat pada periode tahun 2021-2023 adalah masa transisi Indonesia dan exit strategy untuk pembiayaan program pengendalian ketiga penyakit itu dengan pendanaan sendiri. Sebagai informasi, sejak tahun 2003 Indonesia sudah menerima dana hibah dengan total USD 1.007.700.000 dari Global Fund.
Layanan TBC Harus Tetap Berjalan di Kala Pandemi
Menurut dr. Imran Pambudi, MPHM sebagai Kepala Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, terdapat dua kategori utama akar masalah TBC pada saat situasi pandemi yaitu terbatasnya akses diagnosis yang berkualitas dan terbatasnya akses pada layanan TBC. Salah satu rekomendasi dari Joint External TB Monitoring Mission 2020 adalah memanfaatkan inisiatif Presiden RI untuk TBC dalam rangka meningkatkan kualitas layanan, pencegahan dan pengobatan untuk semua pasien TBC, dan memastikan agar semua pasien ternotifikasi. Bapak Presiden Joko Widodo telah menunjukkan komitmen yang baik dalam pengentasan TBC, mendukung keras Gerakan Bersama Menuju Eliminasi TBC 2030 dan mengatakan bahwa masalah TBC harus menjadi prioritas pada saat Musrenbang, April 2020.
Dari hasil survei cepat yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis Indonesia (POP TB) mengenai dampak COVID-19 pada Pasien TBC Resistan Obat, beberapa tantangan pasien TBC yang masih dalam masa suntik adalah harus datang ke fasilitas kesehatan setiap hari. Ani Herna Sari, seorang Aktivis TBC dari POP TB, menjelaskan sebagian pasien TBC khawatir tertular COVID-19 karena tidak punya transportasi pribadi dan sebagian pasien mengalami kesulitan finansial akibat menurunnya produktifitas di tempat kerja. Kemudian tantangan berikutnya adalah pasien tidak menerima masker bedah di beberapa fasilitas kesehatan daerah.
Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan Protokol Pelayanan TBC dalam Masa Pandemi COVID-19 untuk memastikan bahwa pelayanan TBC tetap berjalan dengan konten yang meliputi interval pengambilan obat, rencana kebutuhan obat dan logistik, mapping dan penunjukkan fasyankes, rencana pemantauan pengawasan minum obat secara digital, dan pelibatan komunitas setempat untuk pendampingan pasien.
“Kita harus memberikan perlindungan yang lebih baik pada tenaga kesehatan dan kader, mengakhiri stigma terhadap pasien TBC ataupun COVID-19, memastikan pendanaan TBC tetap ada dan tidak dialihkan untuk COVID-19, bahu membahu untuk melawan TBC dan merencanakan new norm setting untuk semua program kesehatan dengan prinsip patient centered care.” tambahnya.
Pentingnya Peran Pemangku Kebijakan
Melalui Rapat Dengar Pendapat Komisi IX pada 14 April 2020, anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI menyampaikan perhatian dan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan terhadap penanganan TBC di tengah pandemi COVID-19. Keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi TBC bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan tetapi juga membutuhkan kolaborasi multisektor termasuk DPR RI, Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Anggota Dewan memiliki peran strategis dalam bertugas dan memiliki kewenangan terkait fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan serta dalam menerima dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat untuk mencapai eliminasi TBC 2030.
“DPR RI secara khusus memberikan perhatian pada persoalan penanganan TBC. Meskipun saat ini perhatian terfokus pada COVID-19, tetapi TBC tidak seharusnya diabaikan.”
Hal ini disampaikan Bapak Melki Laka Lena selaku Pimpinan Komisi IX DPR RI dalam pengantarnya. Penyakit TBC dianggap sebagai salah satu penyakit yang akan mengalami peningkatan signifikan dalam pandemi COVID-19 karena kasus-kasus TBC yang seharusnya ditangani secara rutin menjadi tidak tertangani dengan baik semasa pandemi. Beban Puskesmas saat ini cukup besar, yang pada awalnya hanya untuk mencegah orang sakit sekarang juga untuk pengobatan. Apabila ditambahkan penyakit lain seperti COVID-19, dengan anggaran dan APD yang terbatas akan berat bagi Puskesmas. Maka dari itu, DPR RI menegaskan bahwa anggaran program lain boleh dipotong, tetapi khusus program tertentu seperti TBC, HIV, dan stunting tidak boleh ada pemotongan anggaran. Usulan ini sudah disetujui oleh Pak Menteri Kesehatan.
“Mengapa pemangku kebijakan seperti parlemen penting dalam pemberantasan TBC karena berdasarkan analisis Global TB Caucus (GTBC), negara-negara dengan anggota GTBC dan kaukus TBC nasional mampu mendorong peningkatan anggaran nasional dan juga pembuatan undang-ang untuk eliminasi TBC serta mampu mendorong peningkatan riset TBC.” ucap Koordinator Regional Asia Pasifik Global TB Caucus (GTBC), Ganendra Awang Kristandya.
GTBC adalah jaringan parlemen independen terbesar di dunia. Memiliki lebih dari 2.500 anggota di lebih dari 159 negara yang bekerja secara kolektif dan individual untuk mempercepat eliminasi TBC. Misi besar GTBC adalah mencapai respon politik yang berkelanjutan untuk mengakhiri TBC. Indonesia belum termasuk negara anggota GlobaL TB Caucus namun sudah ada anggota parlemen yang menjadi anggota kaukus TBC Nasional. Maka dari itu, Pemerintah dan DPR RI diharapkan dapat bekerja sama untuk memastikan pelayanan TBC tersedia untuk pasien dalam masa pandemi COVID-19.
Lampiran notulensi dapat di akses di sini.
Saksikan video webinar selengkapnya di video berikut ini.
Comments