Workshop Eliminasi TBC di Indonesia
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggelar workshop tentang “Eliminasi Tuberkulosis di Indonesia” yang dihadiri 25 jurnalis dari pelbagai media. Penyebaran Tuberkulosis (TBC) menjadi krusial di tengah kompleksitas masyarakat kota.
Berdasarkan data WHO, saat ini terdapat 842.000 kasus TBC tiap tahun. Indonesia menjadi negara ketiga di dunia dengan beban TB tertinggi di dunia. Sementara jumlah yang meninggal dunia tiap hari karena TBC mencapai 300 orang.
“Ini sudah menjadi tugas pers menjalankan fungsi edukasi. Jurnalis perlu memberikan informasi tentang pencegahan dan pengobatan tuberkulosis, yang selama ini kurang menjadi perhatian atau isu utama,” kata Sekretaris AJI Jakarta, Afwan Purwanto dalam keterangan persnya, Sabtu (16/03).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI), Heny Akhmad mengatakan wabah TB jika dibiarkan akan menjadi beban negara. “Apalagi kalau kita bicara soal bonus demografi 10 tahun nanti. Wabah ini harus dikendalikan sejak dini,” katanya.
Heny menilai saat ini orang dengan TBC masih mendapat stigma dari masyarakat. Dengan stigma tersebut, maka orang tersebut akan enggan untuk berobat. Akibatnya, tak terobati dan bisa menjangkiti orang-orang di sekitarnya. “Di sini lah peran jurnalis untuk memberikan eduksi kepada masyarakat,” tambahnya.
Di kesempatan yang sama, mantan wartawan Kompas, Irwan Julianto menilai selama ini wabah TBC masih diberitakan secara statistik. Wabah TBC membunuh diam-diam tanpa disadari.
“Jadi laporkanlah yang angka-angka, tapi jangan berhenti di situ. Kita perlu memberi wajah manusia yang lebih humanis,” kata Irwan.
Lebih lanjut, Irwan mengakui wabah TBC belum menjadi isu utama. Perlu untuk membuat informasi yang lebih dekat dengan masyarakat. “Ini tidak seksi. Tapi kita bisa membuat liputan yang menarik kalau kita mau dengan jurnalisme empati. Artinya jurnalis menulis dengan merasakan apa yang dirasakan oleh narasumbernya,” katanya.
Selain itu, workshop ini juga dihadiri mantan pasien TBC, Ulfa Umar dari Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis. Ulfa menceritakan bagaimana selama ini pasien TBC mendapat stigma dari masyarakat lantaran minimnya promosi kesehatan dari media massa.
“Pasien TBC itu cenderung malu, dan menstigmatisasi diri sendiri dan dari lingkungan, sehingga merasa depresi, dan sebagian rentan bunuh diri,” kata Ulfa, sambil menambahkan, “Media perlu memberikan edukasi tentang pasien TBC secara mendalam dan menyeluruh.”
Bukan hanya mantan pasien yang berbagi cerita dalam workhsop ini. Kader Puskemas Warakas, Jakarta Utara, Ike Ni’mah Tatimuh pun membagikan cerita tentang keterlibatan anggota masyarakat dalam eliminasi TBC. Salah satunya mmelalui program “Grebek TB”. “Kami melakukannya dengan cara mengetuk dari pintu ke pintu rumah. Lalu memeriksa apakah ada yang batuk di daerah kami,” ceritanya.
Dalam workshop kerjasama AJI Jakarta dan Stop TB Partnership Indonesia ini juga hadir Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2TML), Wiendra Waworuntu dan Ketua Country Coordinating Mechanism (CCM) Indonesia, Donald Pardede. Mereka juga membicarakan soal kondisi kekinian tentang wabah TBC.