top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Pada tahun 1994, Indonesia mengadopsi strategi DOTS (directly observed treatment short-course) untuk penanggulangan TB, dan pada tahun 2001 seluruh propinsi dan lebih dari 95% Puskesmas, dan 30% Rumah Sakit/BP.4 telah mengadopsi strategi DOTS. Dalam mendukung penerapan strategi DOTS, disediakan secara gratis paket OAT (Obat Anti TB) bagi penderita dewasa maupun anak, dan pada tahun 2003 dipergunakan OAT untuk penderita dewasa dalam dua bentuk yaitu OAT dalam bentuk Kombipaks dan OAT dalam bentuk Fixed Dose Combination (FDC), dan mulai tahun 2005/2006 secara bertahap semua daerah menggunakan OAT FDC.

Untuk mendukung ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan) saat ini menjadi Kementerian Kesehatan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 1190/Menkes/SK/2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retro Viral (ARV) untuk HIV/AIDS.

Pengadaan OAT dilakukan setiap tahun melalui APBN, dan pada tahun 2004/2005 dalam rangka percobaan penggunaan OAT FDC pengadaannya melalui bantuan hibah luar negeri.

Pengelolaan OAT dalam menjamin ketersediaan dilaksanakan sebagai berikut :

Perencanaan Kebutuhan Obat

Rencana Kebutuhan Obat TB dilaksanakan dengan pendekatan bottom up planning oleh Kabupaten/Kota. Perencanaan kebutuhan OAT dilakukan terpadu dengan perencanaan obat lainnya yang berpedoman pada :

  • Pencapaian penemuan semua penderita TBC pada tahun sebelumnya (perinci berdasarkan kategori OAT dan sisipan);

  • Pengembangan cakupan;

  • Buffer-stok;

  • Sisa stock OAT yang ada, perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi.

Tingkat Unit Pelayanan Kesehatan Unit pelayanan kesehatan membuat perencanaan kebutuhan tahunan dan triwulan sebagai dasar permintaan ke Kabupaten/Kota.

Tingkat Kabupaten/Kota

Perencanaan kebutuhan OAT di kabupaten/kota dilakukan oleh Tim Perencanaan Obat Terpadu daerah kabupaten/kota yang dibentuk dengan keputusan Bupati/Walikota yang anggotanya minimal terdiri dari unsur Program, Farmasi dan GFK.

Tingkat Propinsi

Propinsi merekapitulasi seluruh usulan kebutuhan masing-masing Kabupaten/Kota dan menghitung kebutuhan buffer stock untuk tingkat propinsi, perencanaan ini diteruskan ke pusat.

Pusat menyusun perencanaan kebutuhan OAT berdasarkan usulan dan rencana :

  • Kebutuhan Kabupaten/Kota

  • Buffer stock propinsi

  • Buffer stock ditingkat pusat

Pengadaan OAT

Pengadaan OAT menjadi tanggung jawab pusat mengingat OAT merupakan Obat yang sangat-sangat esensial (SSE). Kabupaten/Kota maupun Propinsi yang akan mengadakan OAT perlu berkoordinasi dengan pusat (Dirjen PPM & PL Depkes RI) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Agar penyediaan obat lebih terkendali maka daftar obat untuk pelayanan kesehatan di kabupaten/kota dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, sebagai berikut :

  • Obat Sangat Sangat Esensial (SSE) yaitu obat yang berisiko tinggi apabila tidak tersedia atau terlambat disediakan, sulit didapat di daerah dan obat program yang harus dijamin ketersediaanya secara tepat waktu, tepat jenis dengan mutu terjamin untuk menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan di kabupaten/kota, maka Depkes menggolongkan OAT kedalam obat SSE.

  • Obat Sangat Esential (SE) yaitu obat yang diperlukan dan sering digunakan serta masih mengandung risiko dalam hal kemampuan suplainya di daerah.

  • Obat Esential (E) yaitu obat yang diperlukan dan sering digunakan serta mudah di suplai di daerah kabupaten.

Penyimpanan dan pendistribusian OAT

OAT yang telah diadakan, dikirim langsung oleh pusat sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, penerimaan OAT dilakukan oleh Panitian Penerima Obat tingkat kabupaten/kota maupun tingkat propinsi. OAT disimpan di GFK maupun Gudang Obat Propinsi sesuai persyaratan penyimpanan obat. Penyimpanan obat harus disusun FEFO (First Expired First Out) artinya obat yang kadarluarsa labih awal harus diletakka didepan agar dapat didistribusikan lebih dulu. Demikian juga pendistribusian buffer stock OAT yang tersisa di propinsi dilakukan untuk menjamin berjalannya system distribusi yang baik. Distribusi OAT dari GFK ke UPK dilakukan sesuai permintaan yang telah disetujui oleh Dinas Kesehatan.

Pengiriman OAT disertai dengan dokumen yang memuat jenis, jumlah, kemasan, nomor batch dan bulan serta tahun kadarluarsa.

Monitoring dan Evaluasi

Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat pencatatan / pelaporan.

Dinas Kesehatan kabupaten/kota bersama GFK mencatat persediaan OAT yang ada dan melaporkannya ke propinsi setiap triwulan dengan menggunakan formulir TB-13. Pengelola program bersama Farmakmin Provinsi, merekap laporan TB-13 kabupaten/kota dan menyampaikan ke pusat setiap triwulan.

Pembinaan teknis dilaksanakan oleh Tim Pembina Obat Propinsi. Secara fungsional pelaksana program TB propinsi dan daerah kabupaten/kota juga melakukan pembinaan pada saat supervisi.

Pengawasan Mutu

Pengawasan dan pengujian mutu OAT dimulai dengan pemeriksaan sertifikat analisa pada saat pengadaan. Setelah OAT sampai di daerah, pengawasan dan pengujian mutu OAT dilakukan oleh Program bersama dengan Ditjen Yanfar dan Badan/Balai POM.

Pemantauan mutu OAT dilakukan dalam dua tahapan yaitu :

  1. Pemantauan Mutu memalui fisik OAT oleh petugas

  2. Pemantauan mutu melalui uji laboratorium dilaksanakan oleh Balai POM

Tindak lanjut dapat berupa :

  1. OAT tersebut rusak bukan karena penyimpanan dan distribusi, maka akan dilakukan re-call atau batch tersebut akan ditarik dari peredaran.

  2. Dilakukan tindakan sesuai kontrak.

  3. Dimusnahkan.

407 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page