Dampak Finansial yang Dialami Orang dengan TBC di Indonesia
Saat ini Tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan baik di tingkat global maupun nasional. Menurut Global TB Report WHO 2023, diperkirakan terdapat 10,6 juta orang di seluruh dunia terjangkit TBC pada tahun 2022. Sementara itu, pada 2023 diperkirakan terdapat 1.060.000 kasus TBC di Indonesia dan 24.637 kasus diantaranya adalah kasus TBC Resisten Obat (TBC RO). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2023, disebutkan telah terkonfirmasi telah ditemukan 809.644 kasus TBC, namun belum semuanya mendapatkan pengobatan.Â
TBC sendiri memberikan dampak multidimensi, dampak fisik, psikis, dan finansial. Dampak finansial ini dikarenakan orang-orang dengan TBC mengalami kehilangan produktivitas dan pekerjaan akibat stigma dan diskriminasi di tempat kerja, ditambah lagi kebutuhan biaya untuk gizi tambahan serta biaya medis tidak langsung selama menjalani pengobatan. Kondisi ini akan berdampak pada kepatuhan orang dengan TBC untuk menjalani pengobatan. Hal ini mendorong dukungan pemerintah dalam bentuk perlindungan sosial. Pemerintah telah memberikan perlindungan sosial seperti PKH (Program Keluarga Harapan), bantuan sembako, bantuan dari pemerintah daerah, dan lainnya. Namun peruntukan tersebut tidak spesifik, bersifat parsial, dan insidental (skema belum jelas), serta hanya mempertimbangkan kondisi kemiskinannya, sehingga masih sedikit orang terdampak TBC yang memiliki akses perlindungan sosial.Â
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, perlindungan sosial adalah upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial. Perlindungan sosial yang diberikan pemerintah dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu; bantuan sosial, jaminan sosial dan program pemerintah lainnya. Pada dasarnya perlindungan sosial bertujuan untuk mengatasi kemiskinan dan kerentanan sosial dengan cara meningkatkan dan memperbaiki kemampuan penduduk dalam melindungi diri dari bencana serta kehilangan pendapatan. Â
Dalam mengatasi dampak finansial tersebut sangat diperlukan perlindungan sosial pada Orang dengan TBC. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dampak finansial tidak berdiri sendiri namun diakibatkan dari dampak sosial yang dialami terlebih dahulu. Contohnya seorang pekerja garmen yang terdiagnosa TBC yang kemudian rekan kerjanya mengucilkan Ia dan menjadi bahan omongan lingkungan kerja hingga akhirnya isu tersebut sampai kepada tim HR di perusahaannya. Dengan alasan Ia dapat memberikan dampak ketidaknyamanan bagi pekerja lain dan bekerja tidak produktif, membuatnya diberhentikan secara sepihak oleh perusahaan yang pada akhirnya Ia kehilangan pekerjaan dan finansialnya tidak stabil. Padahal Ia sangat membutuhkan dukungan finansial untuk menyelesaikan pengobatannya.
Selain dibentuknya kebijakan dan alur pemberian bantuan sosial yang jelas, masyarakat umum juga perlu menyuarakan pentingnya perlindungan sosial pada orang dengan TBC. Hal kecil yang bisa kita lakukan adalah tidak menjauhi orang dengan TBC yang sedang menjalani pengobatan, tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak aman, menggunakan masker dan mencuci tangan dengan sabun. Dukungan dalam pengobatan juga sangat diperlukan untuk meningkatkan semangat para orang dengan TBC agar bisa meminum obat hingga tuntas. Tak hanya itu, memberikan edukasi pada orang lain juga dapat memberikan dampak besar untuk mengubah pandangan seseorang terhadap Orang dengan TBC. Harapannya perlindungan sosial ini bisa kita lakukan dimanapun dan kapanpun.Â
Comments