top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Transformasi Upaya Mengakhiri Tuberkulosis dengan Respon Berbasis Komunitas, HAM dan Gender




Pada Jumat, 14 Agustus 2020, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) bersama dengan Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (POP TB) Indonesia menyelenggarakan ‘Sosialisasi Program Pemberdayaan Komunitas Terdampak TBC untuk Mengakhiri TBC’. Dalam pertemuan ini STPI dan POP TB meluncurkan program kerja sama untuk program ACE-TB (Affected Communities Empowerment to End TB). Kerja sama ini didukung dengan mekanisme dana hibah Challenge Facility for Civil Society (CFCS) dari Stop TB Partnership dan UNOPS dengan dukungan Global Fund AIDS, Tuberculosis, and Malaria dan USAID. Stop TB Partnership menerima 252 proposal CFCS 2019 dan menyalurkan dukungan sebesar 2.5 juta USD untuk 31 organisasi masyarakat sipil dari manca negara 2020-2021.


CFCS 2019 bertujuan untuk mentransformasi respon terhadap permasalahan TBC dengan peran komunitas, berbasis hak asasi manusia (HAM), dan kesetaraan gender. Di Indonesia, STPI dan POP TB memanfaatkan CFCS 2019 untuk memastikan masyarakat sipil berkontribusi pada upaya eliminasi TBC 2030 melalui pemberdayaan dan peningkatan partisipasi komunitas terdampak TBC secara bermakna.


Program ACE-TB diharapkan untuk:

  1. Meningkatkan kepemimpinan dan partisipasi masyarakat dan masyarakat sipil dalam respon TBC dengan memprioritaskan, merencanakan, mengimplementasikan, memantau, dan mengevaluasi program dan layanan TBC;

  2. Memperkuat advokasi masyarakat terdampak TBC di tingkat nasional dan sub-nasional dengan fokus pada pemangku kepentingan utama dan pembuat keputusan;

  3. Memperkuat jejaring POP TB dengan jaringan penyintas TBC tingkat regional dan global.


Kegiatan yang berlangsung secara daring pada Jumat siang ini dihadiri oleh hampir 50 orang perwakilan organisasi mitra STPI dan POP TB. Kegiatan ini diawali dengan pembukaan dari Ibu Heny Akhmad, selaku Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia, yang mengingatkan kembali komitmen Indonesia mencapai target dari Deklarasi Politis tentang TBC yang diluncurkan di Sidang Umum PBB, 26 September 2018.


“… target terdekat di tahun 2022 adalah mengoptimalkan layanan TBC agar respon kita lebih terintegrasi, berpusat pada manusia, berbasis komunitas, responsif gender dan berbasis hak asasi manusia. Harapannya, program ini dapat mendorong kita agar maju bersama-sama sebagai mitra yang setara untuk eliminasi TBC di Indonesia.” ucap Ibu Heny.


James Malar mewakili Stop TB Partnership (Global) memaparkan tentang mekanisme dana hibah CFCS dan harapannya untuk Indonesia tetap bergerak bersama, sejalan dengan negara-negara di Dunia dalam mentransformasi respon TBC.


Kepala Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Imran Pambudi, MPHM memberikan sambutan dan paparan mengenai isu komunitas, HAM dan gender dalam Strategi Nasional Program TBC (Stranas) 2020-2024. Beliau menyampaikan dalam Stranas TBC, khususnya strategi 5, sudah disiapkan regulasi dan strategi untuk mengakomodir hak atas kesehatan untuk orang terdampak TBC beserta intervensinya. Beliau juga mengatakan stigma terhadap TBC dapat dirasakan di tingkat pemangku kebijakan karena Daerah ‘malu’ memiliki kasus yang tinggi. Padahal, hal ini menunjukkan penduduk di wilayah tersebut dapat mengakses pelayanan TBC. Kasubdit TB juga menyampaikan beberapa prinsip untuk percepatan penanggulangan TBC:


“Pertama, peningkatan kualitas pelayanan menjadi hal utama yang perlu kita cermati bersama. Kedua, perlu memberikan pelayanan yang berfokus pada pasien, menempatkan pasien sebagai subjek bukan objek agar pasien dapat mengambil andil lebih kuat dan bisa menyelesaikan pengobatan dengan lebih baik. Ketiga, kita perlu meningkatkan menggunakan digital health, terutama dalam masa pandemi COVID-19 ini.” ungkap Pak Imran Pambudi.


Beliau juga mengatakan bahwa strategi peningkatan kapasitas dan pemberdayaan mitra organisasi pasien sangat penting untuk dilakukan agar dapat memberikan solusi terhadap hambatan dalam penemuan kasus, peningkatan kesadaran masyarakat, serta hambatan stigma, diskriminasi, dan marjinalisasi, yang beliau nilai dapat menghambat pengobatan yang berkualitas.


Diskusi panel dalam acara Kick-Off ini dilanjutkan oleh Bapak Budi Hermawan selaku Ketua POP TB Indonesia menjelaskan program ACE-TB selama satu tahun ke depan hingga akhir bulan Juni tahun 2021.


“Komunitas pasien dan penyintas TBC adalah aktor penting penanggulangan TBC di Indonesia sehingga perlu meningkatkan kapasitas dan mengakses sumberdaya agar memiliki kemampuan untuk melengkapi sistem kesehatan formal secara berkelanjutan”, jelas Pak Budi.


Pak Budi Hermawan juga menyampaikan garis besar program ACE-TB adalah:

  • Penguatan manajemen strategis POP TB

  • Peningkatan literasi HAM dan Kesetaraan Gender untuk Jejaring POP TB

  • Penguatan pemahaman TB, HAM dan gender bagi Pasien Tuberkulosis di wilayah kerja jejaring POP TB

  • Pemahaman tentang kesehatan mental terkait efek samping dan pengobatan TBC RO

  • Pengembangan dan publikasi informasi terkait TBC yang berbasis HAM dan Gender

  • Peningkatkan peran komunitas pasien TBC dalam akuntabilitas publik terhadap perencanaan dan implementasi program TBC di Daerah dan Pusat

  • Penguatan jejaring POP TB dengan jaringan pasien dan penyintas TBC di tingkat global

Dalam pertemuan kick-off ini STPI dan POP TB mengundang narasumber dari sektor hukum untuk memberikan pemahaman tentang hak kesehatan dalam ranah HAM. Narasumber ketiga adalah Ibu Genia Teresia dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat yang menjelaskan bahwa hak kesehatan termasuk hak asasi manusia artinya hak tersebut didapatkan seseorang karena statusnya sebagai manusia tanpa perlu menjalankan kewajiban atas hak yang harus ia dapatkan.


“Negara bertanggungjawab untuk menghormati, menghargai pilihan seseorang dan tidak mengintervensi privasi kesehatan seseorang, melindungi dengan menyediakan sarana dan prasarana pemenuhan hak atas kesehatan, serta memenuhi hak asasi seseorang yang apabila telah dilanggar”, tegas Ibu Genia.


Terakhir, Ibu Dewi Wulan dari Yayasan TERJANG menceritakan kisah pilunya mengalami stigma dan diskriminasi karena stasunya sebagai pasien TBC. Sangat disayangkan tetapi seorang pasien TBC resisten obat dapat dihadapkan dengan kekerasan dan diskrminasi karena penyakit menular ini. Pengalaman-pengalaman pilu tersebut membuatnya lebih kuat lagi untuk membuktikan bahwa penyakitnya dapat disembuhkan.


“Walaupun saya mendapatkan stigma dan diskriminasi dari keluarga mantan tapi saya bersyukur masih mendapat dukungan dari keluarga sendiri. Saya terus menjalani pengobatan sampai sembuh dengan didukung oleh keluarga saya dan suami saya yang baru. Kemudian saya membentuk organisasi pasien TBC karena saya rasa hal ini penting dilakukan. Berobat itu bukan hanya kita minum obat saja, tetapi penting juga untuk mendapat dukungan dari keluarga.” ucap Ibu Dewi dengan menahan tangisnya.


Kegiatan ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Thea Hutanamon, Manajer Advokasi dan Komunikasi STPI, serta tanggapan dan saran dari peserta pertemuan. Program ACE-TB dari CFCS ini merupakan progres yang sangat baik untuk Indonesia untuk mulai mengatasi isu stigma dan diskriminasi yang menghambat penanggulangan TBC. Program ACE-TB diharapkan dapat menjadi fondasi untuk upaya lebih lanjut memperkuat peran komunitas penyintas dan pasien TBC, serta meningkatkan pemahaman HAM dan kesetaraan gender dalam program TBC.


Unduh materi paparan disini

CRG dalam STRANAS TBC 2020-2024
.pdf
Download PDF • 12.85MB
CFS
.pdf
Download PDF • 1.54MB
Hak Atas Kesehatan_LBHM
.pdf
Download PDF • 365KB
Notulensi Kick Off Meeting 14 Agustus -
.
Download • 2.91MB

168 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page