top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Peran Rumah Singgah Dalam Pengobatan Pasien TBC Resisten Obat yang Kurang Mampu


Jatuh sakit karena tuberkulosis tidak hanya memperburuk kondisi biologis seseorang, tetapi situasi sosio-ekonomi pasien dan keluarga. Salah satu upaya yang didorong oleh komunitas terdampak TBC adalah menyediakan rumah singgah untuk meringankan dampak sosio-ekonomi TBC. Inisiatif ini membantu akses ke pelayanan kesehatan dan dapat meringankan beban finansial pasien TBC Resisten Obat (RO). Sayangnya, belum ada sumber dukungan sumber daya lokal untuk inisiatif rumah singgah pasien secara berkelanjutan.

Di tahun 2015, Andi (bukan nama asli), warga Kabupaten Bogor, harus mengeluarkan 350.000 Rupiah untuk menyewa mobil pick-up untuk perjalanan pulang-pergi dari rumahnya ke Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Biaya transportasi yang ia tanggung dalam seminggu mencapai 84% dari besaran Upah Minimum Karyawan Kabupaten Bogor 2015. Di samping biaya non-medis, diskriminasi dari lingkungan sosial juga membebani orang dengan TBC RO dan terkadang berujung pada pengucilan secara sosial.

Realita ini mendorong Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (POP TB), didukung oleh ‘Aisyiyah menggunakan dana Global Fund Single Stream Funding, untuk menyewa dua rumah singgah selama setahun bagi pasien TBC RO di DKI Jakarta. Kamar yang tersedia di rumah singgah tersebut diperuntukkan bagi pasien dari kelompok sosioekonomi masyarakat bawah yang menjalani pengobatan sementara menunggu dirujuk kembali ke Puskesmas. Sebagian dari mereka juga menjalani pengobatan tanpa pendampingan ataupun dukungan dari pihak keluarga.

Di tahun 2018, melalui mekanisme pendanaan Global Fund New Implementing Period, POP TB bersama Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama menyewa lima tempat sebagai rumah singgah di Jakarta Timur, Tangerang Selatan, Bandung, Batam dan Mataram. Menyewa rumah untuk dijadikan shelter merupakan tantangan tersendiri. “Di saat mencari, berkali-kali di Bandung, di Batam, di Tangsel, begitu deal udah oke, tapi begitu tahu itu buat orang dengan TBC, (yang menyewakan) nggak mau dan dibatalin sepihak”, kata Budi Hermawan, Ketua POP TB. Menurutnya, stigma yang berkaitan dengan rumah singgah pasien TBC dapat diatasi jika pemangku kepentingan setempat seperti Camat, Lurah atau Kepala Desa memberikan lebih banyak edukasi kepada masyarakat.

Setelah menyewa tempat, “Kita selalu kasih info ke poli, supaya kalau ada pasien (dengan ekonomi lemah) yang butuh tidak perlu mencari kost-kostan dan mengeluarkan biaya lagi”, ujar Paran, salah satu aktivis POP TB. Untuk setiap rumah singgah, sudah ada 2-7 pasien yang telah menggunakannya. Selain pasien TBC RO yang ditelantarkan keluarganya, alasan pasien singgah adalah kondisi fisiknya yang belum stabil sehingga tidak cukup kuat untuk menempuh perjalanan pulang-pergi ke RS. Ada pasien luar kota yang menunggu masa baseline evaluation (pemeriksaan kondisi klinis pasien) di antara diagnosis dan sebelum mulai pengobatan. Masa singgah beragam sesuai kebutuhan pasien dari beberapa hari, seminggu, sampai sebulan.

Saat ini POP TB hanya menyediakan tempat tinggal bagi pasien dan tidak menanggung biaya makan, transportasi, ataupun kebutuhan medis lain seperti kursi roda atau oksigen. “Pasien masih memikirkan bagaimana caranya besok akan makan, apakah besok masih bisa nggak pakai oksigen,” tambah Paran. Di Tangerang Selatan, beberapa tenaga kesehatan menyumbangkan alat masak dan dana untuk belanja lauk pasien. Kebutuhan proses penyembuhan pasien TBC RO, yang umumnya sudah berhenti bekerja, tidak sebatas pada rumah singgah tetapi juga dipengaruhi pemenuhan kebutuhan lainnya. Meskipun biaya diagnosis dan pengobatan TBC ditanggung oleh Pemerintah, biaya lain terkait perawatan TBC masih mahal bagi sebagian masyarakat Indonesia.

Sudah ada upaya mikro untuk pemenuhan kebutuhan pasien dengan sumber daya lokal, seperti inisiatif oleh Lazismu atau Dompet Dhuafa; misalnya, untuk kursi roda atau penggunaan ambulans. Namun, bantuan-bantuan yang disalurkan ditujukan kepada individu. Sementara, dukungan untuk komunitas yang mendukung aspek non-medis seperti rumah singgah hanya bersumber dari Global Fund. Pendanaan program TBC yang kebanyakan bergantung pada APBN Kementerian Kesehatan belum cukup untuk menutup kesenjangan finansial yang berdampak pada kesembuhan pasien.

Mengingat besarnya beban TBC di Indonesia, sering kali permintaan untuk rumah singgah melebihi dari kesanggupan organisasi. Misalnya, di Tangerang Selatan pada akhir April 2019 ada 4 orang yang mendaftar rumah singgah, sementara kapasitas hanya dapat menampung 2 pasien dan sudah ada 2 pasien yang singgah. POP TB pernah berkonsultasi dengan Dinas Sosial untuk mendukung penguatan rumah singgah pasien TBC RO. Budi menyampaikan, “Solusi yang kita dapat justru menggunakan rumah Dinas Sosial tempat banyak orang lansia tinggal, bukan solusi dukungan dari pendanaan daerah. Kalau pasien tinggal di sana dapat bermasalah nantinya karena resiko penularan TBC yang tinggi.”

Selain itu, sebagian pasien TBC RO yang mengakses pelayanan kesehatan masih mempunyai resiko yang tinggi untuk berhenti dari pekerjaan. Kebanyakan pasien tidak memiliki sumber pendapatan alternatif untuk rumah tangga dan harus mengeluarkan biaya non-medis melebihi 20% pendapatan tahunan rumah tangga pasien selama pengobatan TBC. Ditambah lagi, walaupun pasien TBC RO umumnya dirujuk kembali ke RS atau Puskesmas satelit, masih ada pasien-pasien dengan kebutuhan medis khusus yang harus lebih lama dirawat di RS pusat.

Rumah singgah tidak hanya mencerminkan kebutuhan dari komunitas orang terdampak TBC, tetapi juga realita bahwa penanggulangan TBC merupakan tanggung jawab lintas sektor. Menurut POP TB, penguatan model rumah singgah perlu mengakomodasi kebutuhan lainnya terutama gizi pasien untuk mengoptimalkan pemulihan yang holistik. Respon terhadap pelayanan TBC (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) berkualitas tanpa halangan finansial yang berpusat pada pemenuhan hak pasien tentunya juga turut berkontribusi terwujudnya Cakupan Kesehatan Semesta dan tentunya eliminasi TBC di Indonesia.

Merawat dan melindungi pasien TBC melalui penyediaan dan penguatan rumah singgah secara berkelanjutan artinya mendukung pemutusan rantai penularan penyakit menular yang paling mematikan di Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu mempertimbangkan upaya sistemik agar inisiatif rumah singgah pasien TBC RO dapat dilanjutkan dengan sumber daya domestik sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga yang terdampak TBC.


219 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page