top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Perjuangan Pasien TBC-XDR Hingga Mencapai Kesembuhan




Jumat (26/6) - Stop TB Partnership Indonesia mengadakan sesi LIVE Instagram Episode 1 yang dilakukan bersama dengan Farahdiba Dzalika Fatah, seorang penyintas TBC-XDR yang sudah sekitar 3 tahun berobat sampai pada akhirnya sembuh. Farahdiba merupakan seorang mahasiswi kedokteran tingkat akhir yang hampir mengalami keseluruhan fase penyakit TBC mulai dari TBC Sensitif Obat, TBC Multidrug Resistan hingga sekarang TBC-XDR. Meskipun begitu, Farahdiba yang biasa dipanggil Aya tidak merasakan gejala yang biasanya kita dengar sebagai gejala yang paling utama dari TBC yaitu batuk lebih dari dua minggu. Aya hanya merasakan demam berkepanjangan yang tanpa alasan dilanjut dengan berat badan yang tidak naik padahal selalu makan banyak. Lalu merasakan sering lemas namun seringkali dihiraukan karena sedang banyaknya kegiatan. Kemudian Aya merasakan keringat yang tidak hanya di malam hari saja tapi sepanjang hari sehingga pada akhirnya ia drop secara drastis hingga dirawat inap karena sedang beban pikiran juga dan kelelahan.


Awalnya, tidak terbersit di pikirannya bahwa ia sakit TBC karena tidak ada batuk sama sekali. Kemudian baru diketahui ia sakit TBC lini pertama (sensitif obat) setelah diperiksa rontgen dada oleh dokter setelah 2 minggu dirawat. Barulah ia keluar dahak yang banyak dan batuk terus menerus setelah minum obat TBC pertama kali.


Dari sensitif ke resistan obat


Karena berobat dengan dosen sendiri yang juga merupakan dokter, kecurigaan muncul karena saat minum obat seharusnya setelah satu bulan sudah terlihat perubahan drastis pasien, misalnya berat badan mulai naik. Tetapi tidak pada Aya. Sehingga dari sana disimpulkan bahwa ia mendapatkan suspek infeksi sekunder dan ia pun dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo untuk periksa menggunakan GeneExpert dan ternyata ia positif resistan rifampicin kemudian dirujuk lagi ke RSUP Persahabatan.


Kemudian ia skrining dan diwanti-wanti untuk komitmen minum obat rutin, banyak ditambah suntik ke RSUP Persahabatan. Di bulan ke delapan, ada beberapa hal personal yang mempengaruhi psikisnya, membuatnya stress seperti contoh ketika di kampus teman-temannya mempertanyakan kenapa Aya masih berkuliah dan tidak cuti saja alias antara perhatian dengan kesehatannya juga mereka takut untuk tertular. Akhirnya Aya memutuskan untuk berhenti berobat sepihak dengan segala konsekuensinya dan mengucilkan dirinya dari segala kaitan dengan Tuberkulosis. Keinginan ini murni dari dalam diri Aya, karena sebenarnya lingkungan di rumah sakit seperti perawat dan sesama pasien lainnya berjalan lancar dan baik-baik saja. Sehingga penting sekali untuk membangun tekad dan kekuatan diri untuk sembuh.


Kekuatan keluarga memang segalanya


Setelahnya, karena sudah tinggal sendiri indekos Aya bebas untuk berhenti berobat dan berbohong kepada ibunya sekitar satu bulan lamanya. Hingga ibunya menyadari bahwa ia tidak minum obat saat berkunjung ke indekosnya di bilangan Jakarta. Akhirnya mereka bertengkar karena Aya jujur memberitahukan kepada ibunya bahwa ia tidak mau lagi meminum obat apapun itu risikonya. Karena ia sudah tahu antara penyakitnya yang akan semakin parah karena bakteri resistan (TBC-XDR) atau ia meninggal dunia. Dengan kekuatan ibu, mereka bicara dari hati ke hati dan pada akhirnya ibunya berhasil membujuk Aya untuk kembali berobat.


"Ibu aku bilang, 'ibu akan selalu support apapun itu kedepannya dan hasilnya seperti apa yang penting kita jalanin bareng-bareng.' Akhirnya aku buka hati dan mau berobat lagi." ucap Aya.

Farahdiba dan Ibu Tercinta


Sampai di poliklinik rumah sakit kembali, ia pun langsung dinyatakan mengidap sakit TBC-XDR pada November 2017. Pengobatannya-pun diulang dari awal lagi selama 2 tahun hingga ia sembuh dari TBC-XDR pada Desember 2019. TBC-XDR atau extensively drug resistance adalah penyakit TBC MDR disertai dengan resistansi terhadap golongan fluorokuinolon dan salah satu OAT injeksi lini kedua. Penyakit TBC-XDR merupakan tahap tingkatan hampir akhir sebelum TBC TDR (totally drug resistance). Efek sampingnya lebih kompleks seperti dapat menyebabkan gagal jantung dan bakterinya lebih jago bermutasi dibandingkan dengan yang sebelumnya. Masa pengobatannya adalah 2 tahun, tidak ada suntik dan minum obat serbuk p-amino salisilat yang berwarna merah pekat dengan waktu yang sama. Sehingga tidak boleh lengah sedikitpun karena akan lebih mudah menginfeksi kembali. Meskipun begitu, TBC-XDR ini tetap bisa disembuhkan.


Farahdiba mengatakan, hanya dengan minum OAT (Obat Anti Tuberkulosis) teratur sampai tuntas, berdoa dan support keluarga yang bisa membunuh bakteri Tuberkulosis di dalam dirinya sampai ia sembuh. Ia merasakan bahwa menjadi mahasiswa kedokteran yang sakit TBC itu berat karena ia sudah mengetahui bagaimana ia bisa menularkan ke orang lain. Pada akhirnya hanya keyakinan dari diri sendiri-lah yang dapat menguatkan semangatnya untuk terus minum obat.


"Pokoknya, dibawa enjoy aja selama pengobatan walaupun efek sampingnya berat. Bawa diri kita berdamai dengan obatnya sampai kita ketemu titiknya kita berteman dengan rasa sakit itu." imbuhnya.

Farahdiba seringkali mendapatkan stigma dari lingkungannya, sebagai mahasiswa kedokteran, ia sering mendapatkan pertanyaan mengenai bagaimana bisa mahasiswa kedokteran sakit TBC dan dari mana asal muasal bisa terkena penyakit tersebut. Kemudian ia hadapi dengan percaya diri, karena baik dokter ataupun pekerjaan apapun itu, usia berapapun, miskin atau kaya, semuanya bisa terkena dan berisiko tuberkulosis. Diskriminasi lainnya yang ia alami adalah, kampus tempatnya bersekolah mewajibkan ia cuti dan berhenti kuliah terlebih dahulu karena kekhawatiran akan penyakit tuberkulosis, ia pun dijauhi oleh teman-temannya. Padahal, sebagaimana yang kita ketahui setelah melakukan pengobatan TBC selama 2 bulan pertama dan hasil tes menunjukkan bakteri sudah negatif, maka pasien tidak lagi dalam fase menularkan ke orang lain sehingga seharusnya stigma tidak lagi ada selama masa pengobatan selesai dilakukan dan selalu pakai masker. Stigma itu ada, namun yang terpenting adalah kekuatan dari dalam diri dan support dari orang terdekat paling membantu untuk menguatkan tekad menyelesaikan pengobatan.


Farahdiba berpesan pada LIVE IG #ToBeConnected Jumat lalu, untuk teman-teman pasien pejuang TBC yang masih menjalani pengobatan di masa pandemi ini bahwa kesembuhan itu datangnya dari Tuhan Yang Mahakuasa. Jangan takut dan harus menerima kenyataan bahwa kita sedang sakit dan berdamai dengan penyakit tersebut namun juga jangan berkecil hati. Tetap semangat berobat sampai sembuh dan jangan sampai menunda pengobatan. Kuatkan tekad dan selalu berpikir positif, mencari kegiatan-kegiatan positif yang membuat kita tidak overthinking dengan penyakit yang kita alami.


"Kita musti yakin dan bangga bahwa kita orang yang terpilih oleh Tuhan untuk kuat menghadapi ujian ini dan harus yakin bahwa kita dapat sembuh dari penyakit ini. Kalau nanti ada sesuatu yang kita tidak inginkan, tetap berserah diri pada Allah."

Saksikan video lengkap obrolan kami di link berikut



1.656 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page