top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Perangi COVID-19 dan Eliminasi Tuberkulosis



Saat ini Indonesia sedang menghadapi beberapa pandemi yang berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia, dua diantaranya akibat virus COVID-19 dan bakteri TBC. Penyakit TBC telah lama ditetapkan sebagai pandemi, belum lama ini Badan Kesehatan Dunia atau WHO juga telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Status ini ditetapkan menyusul dampak penyakit yang tak hanya pada kesehatan tapi juga ke berbagai sektor. Jumlah pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr. Achmad Yurianto, mengumumkan pada Minggu 22 Maret 2020 bahwa di Indonesia terlaporkan sebanyak 514 orang terkonfirmasi positif COVID-19, dengan 29 sembuh dan 48 orang meninggal dunia.


Badan Kesehatan Dunia mengestimasikan di Indonesia ada 24.000 orang sakit TBC RO setiap tahun, namun, hanya sekitar 9.000 pasien terdiagnosis pada 2018. Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis, Budi Hermawan mengutarakan, “Upaya untuk menemukan dan mengobati pasien TBC RO belum optimal dan semakin sulit dengan situasi saat ini, karena RS menjadi rujukkan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler. Pemerintah telah memberi mandat kepada 132 Rumah Sakit di berbagai provinsi untuk menghadapi pandemi ini, termasuk 100 diantaranya adalah rumah sakit rujukkan TBC RO. Dan, ruang rawat inap pasien TBC RO di RS perlu difungsikan untuk isolasi kasus COVID-19 agar menekan penyebaran COVID-19.”


“Pasien TBC RO tetap perlu meminum obat di layanan dan sebagian merasa takut untuk ke RS karena juga menjadi tempat rujukkan corona”, kata Yulinda dari Yayasan Pejuang Tangguh TBC RO. Menurut Paran, seorang pendamping pasien TBC RO di Jakarta Timur, “Ada contoh baik di salah satu Puskesmas dimana saya mendampingi pasien TBC RO. Di sana, Puskesmas memberikan satu box masker kepada pasien untuk digunakan selama sebulan sehingga mereka merasa terlindungi, baik kesehatan maupun ekonomi. Seperti yang kita tahu, di berbagai tempat harga masker sudah semakin melejit.”


Ani dari Perkumpulan Rekat Surabaya, yang terdiri dari penyintas TBC RO, dan Dewi dari Yayasan Terus Berjuang di Provinsi Jawa Barat, menyampaikan belum ada perubahan dalam pelayanan RS dan pendampingan pasien TBC RO yang dilakukan jaringan organisasi mereka. Namun, pemerintah pusat dan daerah tengah menyiapkan rencana untuk mensinergikan penanggulangan pandemi penyakit menular TBC dan COVID-19.


Menanggapi situasi TBC RO saat ini butuh kepedulian lebih banyak pihak menurut Heny Akhmad, Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia. “Dalam situasi ini, kegiatan pencegahan-deteksi-pengobatan TBC harus terus berjalan dengan arahan yang jelas dari pemerintah kepada seluruh pemangku kepentingan. Situasi ini juga mengingatkan kita fasilitas kesehatan, termasuk swasta, mau dan mampu melayani pasien TBC RO sesuai standar selama bangsa kita terus berjuang memerangi COVID-19”, ujarnya.


Di tengah kesibukan pemerintah menghadapi COVID-19, Anggota Komisi IX DPR RI, drg. Putih Sari menegaskan, “Mencapai eliminasi TBC 2030 tidaklah mudah, apalagi jika muncul penyakit menular baru seperti COVID-19 yang semakin membebani sistem kesehatan kita”. Upaya promotif dan preventif menurutnya perlu dilakukan secara sinergis dan mendapat prioritas. Di samping itu, intervensi seperti pelacakan kontak pasien dapat dikembangkan berdasarkan pembelajaran dari penanggulangan TBC.


Putih Sari menjelaskan upaya mengatasi kedua pandemi perlu lebih sinergis. “Butuh kolaborasi multi-sektor untuk mengatasi memerangi COVID-19 dan mengeleminasi TBC. Upaya ini bukan hanya tanggung jawab Tenaga Kesehatan saja, akan tetapi juga tanggung jawab masyarakat sipil dan pemerintah di semua sektor, seperti sektor keuangan, perumahan, tenaga kerja, urusan dalam negeri, pemberdayaan desa, perencanaan pembangunan, transportasi, serta hukum dan hak asasi manusia”.


“Ketika COVID-19 ini mereda, jangan sampai lebih banyak pasien yang tidak selesai berobat. Kalau respon menghadapi COVID-19 tidak optimal, penanggulangan TBC juga akan semakin terdampak”, pesan Putih Sari saat dihubungi oleh Stop TB Partnership Indonesia.


Tuberkulosis pertama ditemukan pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch dan 138 tahun setelahnya penyebaran bakteri TBC masih ada di setiap negara, bahkan semakin resisten terhadap antibiotik yang tersedia. Indonesia masih menghadapi pandemi TBC dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasinya tentu terancam dengan munculnya pandemi COVID-19. Pada tahun 2018, 10 juta orang di dunia jatuh sakit akibat TBC dan 845.000 orang diantaranya berada di Indonesia. Situasi ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga sebagai negara dengan insiden TBC tertinggi setelah India dan Cina (WHO, 2019). Laporan Tuberkulosis Global WHO 2019 memperkirakan setiap hari lebih dari 2.300 orang jatuh sakit akibat TBC. Penyakit menular yang dapat dicegah dan diobati ini juga telah merenggut lebih dari 200 jiwa setiap harinya.

285 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page