top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Indonesia Darurat Tuberkulosis


Tidak semua orang menyadari bahwa penyakit menular tuberkulosis (TB) masih mengancam Indonesia. Bahkan, ada yang mengira penyakit menular, yang dulunya disebut TBC, ini sudah tidak ada lagi di Indonesia. Nyatanya, Indonesia justru menempati kasus TB nomor 2 di dunia, setelah India. Penanganan masalah TB ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi semua pihak (multi-stakeholders) harus berperan. Hal ini disampaikan pada acara diskusi bersama media bertema “Rekomendasi Koalisi Penanggulangan TB di Indonesia” bertempat di gedung PBNU, Jakarta – Rabu, 8 Maret 2017. Turut hadir dalam diskusi tersebut adalah para inisiator koalisi seperti KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU; Arifin Panigoro, Ketua Forum Stop TB Partnership Indonesia (FSTPI); dan Lakish Hatalkar, Vice President GFO, Johnson & Johnson Asia Pacific.

Mengawali diskusi, sejumlah fakta dan data terkait penyakit TB di Indonesia disampaikan kepada peserta diskusi, termasuk media massa. Berdasarkan Laporan WHO tahun 2016, jumlah kasus TB di Indonesia telah mencapai 1,6 juta orang, dengan estimasi kasus TB baru di Indonesia sebesar 1 juta setiap tahun, dengan 100.000 kematian per tahun. Hal ini berarti terdapat 273 kematian setiap hari atau 11 kematian setiap jam.

Sementara itu, WHO juga melaporkan bahwa jumlah penderita TB di dunia mencapai 10,4 juta kasus dengan 8,6 juta kasus baru setiap tahun. Penularan TB—yang dipicu kuman Mycobacterium tuberculosis dari percikan dahak pengidap TB yang tersebar di udara setelah batuk— berlangsung cepat dan dapat menular kepada 10-15 orang di sekitarnya.

Dalam diskusi ini juga dikemukakan bahwa tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya angka penemuan kasus (32 persen) atau sekitar 680.000 kasus yang tidak ditemukan setiap tahun, dari 1 juta kasus yang seharusnya ditemukan. Selain itu ketidakpatuhan dalam pengobatan dan pelayanan yang kurang berkualitas juga menyebabkan munculnya kasus TB yang resistan (kebal/tahan) terhadap obat, yang membutuhkan pengobatan lebih intensif dan lama. Saat ini, Indonesia masuk dalam urutan 12 dari 28 negara dengan beban TB Resistan Obat (TB-RO) terbesar di dunia (Global TB Report 2015).

Penyelesaian permasalahan TB harus segera dilakukan, tidak hanya oleh pemerintah, tetapi oleh semua pihak (multi-stakeholders), meliputi sektor swasta, masyarakat madani (Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM/Civil Society Organization-CSO), dan layanan kesehatan.

“Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam) tidak boleh diam. Islam harus bisa ikut hadir dalam mewujudkan umat yang sehat. Karena hal ini sesuai dengan maksud dan hikmah diturunkannya Islam (hikmatut tasyri’), yaitu, pertama, untuk mengenal Allah SWT (ma’rifatullah), dan mengesakan-Nya (tauhid); Kedua, menjalankan segenap ritual dan ibadah kepada Allah SWT sebagai manisfestasi rasa syukur kepada-Nya; Ketiga, untuk mendorong amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), serta mengasihi hidup manusia dengan etika dan akhlak mulia (tasawuf); dan keempat, untuk menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan sosial (mu’amalah) di antara sesama manusia,” ujar KH. Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU, organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.

Hal yang sama disampaikan oleh Ketua FSTPI Arifin Panigoro. Ia melihat kasus TB belum sepenuhnya menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia dibandingkan dengan masalah sosial lainnya, seperti narkoba dan HIV/AIDS.

“Meskipun tidak berlatar belakang kedokteran atau kesehatan, saya merasa terpanggil untuk ikut memikirkan dan melakukan berbagai upaya penanggulangan TB melalui FSTPI yang saya pimpin guna membantu Kementerian Kesehatan,” kata Arifin.

Untuk itu, tambah Arifin, semua komponen bangsa diimbau untuk menanggulangi TB di Indonesia, sekurang-kurangnya melakukan upaya promotive dan preventive di lingkungan masing-masing dengan melakukan penyuluhan secara masif, dimulai dari tingkat RT bekerja sama dengan jajaran kesehatan mulai dari puskesmas.

Arifin menegaskan FSTPI akan berkomitmen terus melakukan upaya-upaya pengendalian TB, salah satunya dengan merangkul berbagai pihak, seperti CSO, layanan kesehatan, dan dunia industri.

Di samping itu, diskusi tersebut juga membahas permasalahan TB yang tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak pada turunnya produktivitas, terutama di ranah industri. Pekerja yang terjangkit TB akan kehilangan produktivitas yang berpotensi membuat keluarga pasien hidup dalam kemiskinan dan kekurangan.

Tingginya jumlah penderita TB juga berpotensi menurunkan tingkat kunjungan wisatawan ke Indonesia ataupun sebaliknya, sehingga dibutuhkan upaya optimal dari semua pihak dalam mengatasi kedaruratan tuberkulosis di Indonesia saat ini.

Dalam kesempatan tersebut Lakish Hatalkar menyampaikan dukungan dan komitmen penuh Johnson & Johnson Indonesia terhadap gerakan yang dilakukan FSTPI untuk pengendalian TB di Indonesia. “Fakta menunjukkan bahwa kelompok usia produktif merupakan kelompok penderita terbesar, maka partisipasi aktif dari sektor industri sangatlah penting. Kami percaya bahwa sektor industri dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam menurunkan jumlah kasus TB di Indonesia. Mari kita bekerjasama untuk benar-benar membebaskan Indonesia dari TB,“ tutup Lakish Hatalkar, Vice President GFO, Johnson & Johnson Asia Pacific.

Diskusi ini diselenggarakan Forum Stop TB Partnership Indonesia (FSTPI) berkolaborasi dengan Lembaga Kesehatan Nahdatul Ulama (LKNU), dan Johnson & Johnson Indonesia dan sebagai moderator diskusi adalah Dr. Esty Febriani. Turut hadir dalam diskusi ini international partner, antara lain dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), dan KNCV Tuberculosis Foundation.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi :

Drg. Mariani Reksoprodjo, Kantor Skretariat PPTI Pusat/FSTPI Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66 A, Kebayoran Lama Utara, Jaksel. Telp. 021-7397494; email : ppti66@yahoo.com dan admin@stoptbindonesia.org

Hartono Rakiman (CEPAT – LKNU ), Grha Tirtadi 5th floor, Room 501, Jl. Raden Saleh No. 20 Jakarta Pusat. Telp. 021-39837388; email : hartono@cepat-lknu.org.

Devy Yheanne, Country Leader of Communications & Public Affairs, PT Johnson & Johnson Indonesia, K-Link Tower 12th floor, Jl. Jend Gatot Subroto Kav 59A, Jakarta. Telp. 021 2935 3935, email dyheanne@its.jnj.com

Baca Juga :

Elshinta : Penanggulangan TB Jadi Tanggung Jawab Semua Pihak

42 tampilan0 komentar

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page